Saturday, September 29, 2018

Dira (Inilah Yang Kumau) Part 1



Minggu pertama bulan baru. Aku belum juga menerima uang kiriman dari orang tuaku. Uang yang aku miliki sudah mulai menipis. Sepertinya aku terlalu boros kemaren. Biasanya setiap bulan aku selalu punya uang lebih untuk ditabung.

Setelah melempar tas ke lantai, aku menghempaskan tubuh duduk di atas sofa. Ku buka jilbab dan kemudian ikat rambutku sehingga membuat rambut panjang bergelombangku tergerai. Hari ini sungguh melelahkan. Jadwal kuliah yang begitu padat dari pagi hingga sore. Aku baru saja pulang kuliah dan ingin segera mandi.

“Iya Ma… udah bulan baru nih… Kok belum dikirim sih? Kirimin dong,” rengekku lewat telepon. Aku akhirnya mengadu pada orangtuaku sebelum pergi mandi. Meminta mereka untuk segera mengirimkan aku uang untuk bulan ini.


“Biasanya kamu gak pernah mengeluh kalau telat, kenapa sekarang mengeluh?” Tanya mama heran.

“Abisnya… kemaren ini aku beli hape baru ma… hehe,” aku malu-malu menjawab.

“Lho... Itu kan resiko kamu sendiri karena beli hape baru. Lagian hapemu yang kemaren kan masih bagus. Untuk apa juga beli baru?”

“Teman-temanku sudah ganti hape baru semua Ma, aku kan juga pengen beli yang baru…” jawabku beralasan. Seperti yang dugaanku, aku kemudian kena ceramah oleh Mama. Dia memintaku agar jangan boros-boros, kemudian melebar hingga menasehatiku agar kuliah yang rajin dan jangan main pacar-pacaran. Kata-kata yang diucapkannya nyaris selalu sama setiap kali kami berbicara.

Hampir setengah jam Mama berceramah. Aku hanya bisa mendengar dan mengiyakan saja apa yang dia ucapkan. Untungnya setelah itu dia mau untuk segera mengirimkan aku uang. Lega sekali aku mendengarnya. Setelah menutup telepon, aku kemudian menuju ke kamarku untuk mandi. Di dalam kamar, ku lepas pakaianku satu persatu tanpa tersisa. Dengan bertelanjang bulat aku lalu menuju kamar mandi yang ada di dalam kamarku.

Sesampainya di dalam, aku bergaya sejenak di depan cermin besar yang ada di sana. Aku senyum-senyum sendiri. Aku begitu menyukai tubuhku. Bangga sekali punya tubuh sempurna seperti ini. Bukannya mau menyombongkan diri, tetapi teman-temanku memang banyak yang iri kepadaku. Tubuhku yang tinggi langsing berpadu indah dengan buah dada besar membulat dan pinggul yang lebar. Mereka juga mengagumi kulit putih beningku yang terawat serta rambutku yang ikal berombak. Tak sedikit juga yang menyebut aku cantik, manis, imut dan sebagainya.

Sebelumnya aku tidak pernah begitu memperhatikan tubuhku. Tapi setelah banyak teman-temanku yang memujiku, akupun jadi sering berdiri di depan cermin. Aku mulai menyadari kalau aku memiliki tubuh indah yang harus aku rawat dengan baik. Akupun jadi rajin merawat diri setelahnya. Rajin olahraga, makan makanan yang sehat serta rajin memakai dan mengkonsumsi produk perawatan tubuh dan kulit. Aku tidak ingin menyia-nyiakan apa yang ada pada diriku. Wajah dan tubuhku merupakan harta berhargaku yang harus aku jaga dengan baik.

Pakaianku sehari-hari bila ke luar rumah tentunya pakaian yang terbilang sopan, seperti yang aku pakai ke kampus barusan. Baju kemeja lengan panjang dengan celana jean panjang lengkap dengan jilbab. Cukup tertutup namun bisa sedikit memamerkan lekuk tubuhku. Tapi dengan pakaian seperti ini saja sudah cukup untuk membuat para cowok banyak yang ngejar-ngejar aku. Dengan harapan aku bisa dijadikan pacar ataupun hanya sekedar ingin berteman denganku.

Tak hanya cowok baik-baik saja yang berani mendekat, aku juga sering digoda cowok-cowok mesum yang tanpa sopan-santun mengajak aku main di atas ranjang. Kebanyakan dari mereka hanya sekedar iseng, tapi ada juga yang serius dengan mau membayar mahal agar aku bersedia diajak ke hotel. Aku tentunya tidak mempedulikan ucapan mereka. Aku juga belakangan ini tersadar kalau ada seorang stalker yang sedang membuntutiku. Aku merasa gerak-gerikku setiap beraktifitas di luar rumah selalu diawasi olehnya. Sepertinya dia juga diam-diam memotretku. Aku penasaran siapa pria misterius ini sebenarnya.

Setiap akan mandi aku pasti akan memperhatikan bayangan tubuhku di depan cermin. Kadang sampai berfoto-foto menggunakan smartphone milikku baik hanya menggunakan pakaian yang minim maupun telanjang bulat. Teman-temanku mungkin tidak akan menyangka, dibalik keseharianku yang selalu memakai jilbab, di smartphoneku tersimpan foto-foto diriku yang kebanyakan dengan kondisi nyaris tanpa busana.

Selesai mandi ada telepon masuk. Ternyata dari teman SMA-ku.

“Kamu jadi ikut kan besok?” tanya temanku itu. Sudah beberapa hari ini dia selalu menanyakan hal yang sama padaku. Ini sudah yang ketiga kalinya hari ini dia memintaku hadir. Dia mengundangku ke acara pesta pernikahan kakaknya. Sepertinya dia ingin memastikan kalau aku benar-benar akan hadir besok.

“Iya.. aku pasti datang kok…” jawabku.

“Janji yah… Aku tunggu”

Aku memikirkan busana apa yang akan aku kenakan besok. Temanku itu anak pengusaha. Sudah pasti pesta itu akan mewah. Aku sebenarnya berencana memakai pakaian yang tertutup tapi tetap modis untuk ku kenakan besok. Namun tiba-tiba aku memikirkan hal lain, aku ingin mengenakan pakaian yang sedikit agak terbuka, memperlihatkan belahan dadaku, mungkin ditambah dengan bawahannya di atas lutut. Ah… kalau begitu auratku akan banyak terlihat. Tapi aku ingin sekali mencoba berpakaian seperti itu. Dari kecil aku memang sudah dididik dan dibiasakan mengenakan jilbab oleh orangtuaku kalau keluar rumah, aku diajarkan bahwa aurat-auratku bukanlah untuk dipamerkan sembarangan. Namun sekarang aku penasaran ingin mencobanya, penasaran bagaimana rasanya menunjukkan sedikit auratku pada orang lain. Ada sesuatu yang mendorongku untuk mencobanya. Akhirnya kuputuskan untuk membeli pakaian untuk ku kenakan di acara besok.

Besok malamnya aku datang ke acara ulang tahun tepat waktu. Pilihan busanaku jatuh pada Jenis babydoll dress berwarna orange berbahan sutera. Gaunnya begitu terbuka. Belahan dadaku terlihat begitupun dengan pahaku, serta memperlihatkan lekuk tubuhku dengan sempurna. Aku merasa sangat seksi mengenakan busana ini.

Di lokasi pesta, aku tak menyangka kalau akan begitu banyak orang-orang yang memujiku. Ada juga yang terkejut karena tidak menyangka kalau aku akan datang dengan mengenakan busana terbuka seperti ini. Untungnya tidak terlalu banyak orang-orang yang mengenalku di sini. Tidak ada teman-teman kuliahku, teman-teman SMAku juga tidak terlalu banyak. Meskipun terkejut dengan busanaku, tapi mereka tetap memuji diriku, mengatakan betapa cantiknya aku dan gaun yang aku kenakan. Aku merasa bangga banyak mata yang memandang ke arahku, baik cewek maupun cowok. Lagi-lagi tak sedikit cowok-cowok yang mengajak kenalan denganku. Aku dapat melihat kalau pandangan mereka kebanyakan selalu tertuju pada belahan dadaku.

Aku semakin merasa excited ketika disuruh tampil di depan panggung. Aku memang pandai menyanyi, sehingga aku diminta untuk menyumbangkan suaraku. Sekarang seluruh mata yang ada di sini tertuju padaku. Aku merasakan sensasi yang aneh karena aku yang biasanya berpakaian tertutup kini tampil dihadapan orang banyak dengan busana terbuka. Perasaanku campur aduk antara bangga dan risih, namun aku merasa sangat senang bisa berbagi apa yang aku miliki.

Setelah aku turun dari panggung, semakin banyak tamu yang ingin bersalaman denganku. Mereka terus memuji-muji diriku.

“Kamu sempurna banget. Sudah cantik, seksi, suaramu juga bagus,” ucap salah seorang cowok yang disusul oleh cowok-cowok lain. Aku membalas tersenyum sambil mengucapkan terima kasih.

“Benar, iri sekali rasanya. Udah cantik, bodynya bagus, suaranya juga bagus. Coba aja aku seperti kamu,” para cewekpun turut memujiku. Senang sekali rasanya mendengar puji-pujian itu. Ahh… Tubuh indah yang aku miliki mungkin memang sepatutnya diketahui orang banyak.

Lewat tengah malam barulah pesta usai. Saat pulang dari pesta aku mengalami kesialan. Di tengah jalan ban mobilku bocor. Sepertinya ini ganjaran buatku karena telah memamerkan auratku dengan bangga di hadapan orang-orang. Dan sekarang aku tidak mengerti cara mengganti ban mobil yang bocor ini. Handphoneku juga kehabisan baterai sehingga tidak bisa menghubungi siapapun. Kondisi semakin diperparah dengan hujan yang mulai turun. Suasana disekelilingku begitu gelap. Aku berdiri di samping mobilku, berharap ada orang lewat yang mau membantuku. Aku bahkan berharap stalker itu muncul sehingga bisa menolongku, tapi dia tidak kelihatan. Kemana dia saat aku butuh!?

Cukup lama aku menunggu tapi tidak ada yang lewat. Aku tidak tahu apa yang akan ku lakukan. Mungkin aku akan berjalan kaki saja dari sini menuju rumahku. Sebenarnya jaraknya sudah tidak terlalu jauh, tapi tentunya sangat beresiko berjalan sendirian di tengah malam, apalagi dengan busana seperti ini. Mungkin aku akan tidur di dalam mobil saja malam ini. Saat aku akan masuk kembali ke mobil, tiba-tiba ada yang datang.

“Kenapa kak?” tanya cowok itu. Ku perhatikan dirinya. Ah, ternyata masih anak-anak, dia bukan stalker itu. Jelas dia tidak akan bisa banyak membantuku pikirku.

“Ban mobil kakak bocor,” jawabku datar.

“Mau aku bantuin?” tawarnya.

“Emang kamu bisa?” tanyaku ragu.

“Kalau cuma begini sih aku udah biasa kak,” balasnya.

Ku persilahkan saja dia mencoba. Sambil bekerja dia sesekali melirik ke arahku. Sepertinya pakaian yang ku kenakan memang begitu mengundang mata untuk melirik ke arahku termasuk remaja tanggung sepertinya. Ternyata aku salah telah meremehkan anak ini. Rupanya dia pandai mengganti ban mobil. Dalam waktu singkat, mobilku sudah bisa dipakai kembali.

“Makasih banyak yah dek… Ternyata kamu pinter,” ucapku. Sebagai bentuk rasa terima kasihku, aku beri dia duit selembar uang seratus ribu, namun dia menolak.

“Wah… gak usah kak, kebanyakan. Aku gak punya kembaliannya”

“Ini untuk kamu semua kok… ambil aja”

“Aku ikhlas kok bantuin kakak,” balasnya.

“Terima aja… ini kan karena kamu udah bantuin kakak,” bujukku lagi agar dia mau mengambilnya.

“Gak usah kak, terima kasih.” Namun dia terus menolak. Aku yang jadinya tidak enak hati. Aku tak terbiasa tidak membalas bantuan yang aku terima dari orang lain.

“Ya sudah kalau begitu.. ngomong-ngomong rumah kamu dimana? Kenapa jam segini anak kecil sepertimu masih keluyuran?” tanyaku kemudian padanya.

“Enak aja anak kecil. Umurku udah 14 tahun kok.. Udah SMP. Rumah aku dekat sini kak, baru selesai nonton bola bareng di rumah teman,” jawabnya. “Kalau kakak dari mana? Rumah kakak dimana?” lanjutnya balik bertanya. Akupun menjawab pertanyaannya serta mengatakan dimana alamat rumahku.

“Ohh… perumahan elit di depan sana yah kak? Wah… kita tetanggaan dong”

“Iya… Kenapa? Kamu mau mampir? Hihihi,” godaku.

“Eh… nggak kok,” jawabnya.

“Ya sudah… Kakak mau pulang dulu. Makasih banyak ya atas bantuannya. Kamu juga langsung pulang sana”

“Iya kak, hati-hati di jalan kak”

“Kamu juga”

Aku masuk ke mobil dan menyalakannya. Untung saja aku bertemu dengan orang baik. Kalau yang datang orang jahat aku tidak tahu apa yang akan terjadi.

Sebelum meninggalkan bocah itu aku buka kaca jendela untuk melambaikan tangan padanya.

“Eh… nama kakak siapa?” teriak bocah itu saat aku mulai menjauh. Membuatku harus menjawabnya dengan juga berteriak.

“Dira”

***

Satu minggu kemudian, aku berencana pergi nonton film bersama teman-temanku di mall. Sebuah film baru buatan negeri sendiri yang sedang heboh-hebohnya saat ini. Aku sebenarnya tidak terlalu menyukai nonton di bioskop. Hanya sesekali saja jika film itu sangat membuat aku penasaran. Aku memakai pakaian kesukaanku. Kemeja panjang kotak-kotak dengan celana jeans, tentunya lengkap dengan jilbab berwarna biru muda. Aku tidak berminat untuk kembali mengenakan pakaian yang terbuka saat ini. Tidak dengan teman-temanku yang selama ini tahunya aku pakaiannya selalu berjilbab.

Aku pergi sendirian dari rumahku dengan mobil. Parkiran mall yang penuh membuat aku terpaksa memarkirkan mobilku di depan deretan ruko di sebelah mall tersebut.

Setelah nonton, aku dan teman-temanku tidak langsung pulang. Kami berkeliling cuci mata, lalu setelah itu makan siang di salah satu café di sana. Aku sangat menikmati menghabiskan waktu luang dengan berkumpul bersama teman-temanku seperti ini. Karena sehari-harinya aku biasa sibuk dengan urusan kampus. Tugas-tugas yang banyak serta praktikum yang tiada hentinya.

“Ah, film tadi gak seseru iklannya,” ucap salah satu temanku sambil menyeruput milkshake vanila milikku.

“Menurutku bagus kok, aku suka banget jalan ceritanya. Walau endingnya diluar dugaan sih,” balasku.

“Benar… aku juga setuju sama Dira, filmnya bagus kok,” temanku yang satu lagi setuju denganku. Sambil menyantap makan siang kami membahas tentang film yang barusan kami tonton. Lalu membahas tentang film-film apa yang akan kami tonton selanjutnya. Ngobrolin orang dan juga ngobrolin dosen-dosen killer. Sampai ngobrolin masalah cinta-cintaan. Semua itu dilengkapi dengan foto-foto bersama.

Puas, kamipun berpamitan untuk kembali ke rumah masing-masing. Aku menuju ke tempat mobilku di parkir. Tukang parkirnya dengan seenaknya meminta uang parkir 50 ribu. Tentunya aku menolak membayarnya. Bukan karena aku tidak punya uang, tapi karena tidak mau. Itu terlalu mahal. Parkir hanya 3 jam tapi mintanya segitu. Aku berdebat panjang dengan tukang parkir itu.

“Kak Dira!” panggil seseorang. Aku mengenal suara itu.

“Udah bang, biar aja, itu kakak aku,” ucapnya lagi. Ternyata itu bocah yang pernah menolong mengganti ban mobilku. Tampak dia masih mengenakan seragam SMPnya. Si abang tukang parkir dengan bersungut-sungut akhirnya mau juga pergi. Sepertinya tukang parkir itu kenalan anak itu. Bocah itu kembali menolongku dari kesusahan. Pertemuan pertama kami mungkin hanya kebetulan, tapi sekarang aku yakin kalau pertemuan kami memang ditakdirkan.

“Lho, kamu kok ada di sini?” tanyaku padanya.

“Aku emang biasa nongkrong di sini kak. Kak Dira abis dipalak yah sama tukang parkir itu? Tukang parkir di sini emang banyak yang gak punya otak kak”

“Hahaha, iya tuh. Minta uang parkirnya mahal amat. Eh, makasih yah udah tolongin kakak lagi”

“Iya kak, sama-sama. Hmmm.. Kakak pakai jilbab ya? Malam itu kok nggak?”

“Iya… kakak biasanya emang pakai jilbab kok.” Sebagian temanku biasanya tidak akan mengenaliku jika aku tidak pakai jilbab, namun ternyata dia ingat dengan wajahku. “Kamu mau pulang? Mau bareng kakak gak? Kan kita tetanggaan,” tawarku kemudian padanya.

“Duh, gak usah repot-repot kak”

“Udaaaah… bareng kakak aja. Yuk naik,” aku sedikit memaksa. Aku juga ingin membalas bantuannya. Diapun akhirnya mau juga. Aku langsung mencium bau matahari begitu dia masuk ke mobilku. Dia terlihat lusuh. Seragam putihnya tidak berwarna putih lagi. Tapi yang aku suka darinya dia baik dan sopan padaku.

“Kakak belum tahu siapa namamu. Namamu siapa sih?” tanyaku sambil menyetir.

“Eko kak…”

“Ohhh… Eko”

“Kenapa kak? Sama dengan nama pacar kakak ya?” godanya yang membuat aku tertawa.

“Ih, apaan… Kakak gak punya pacar kok” jawabku.

“Kak Dira kan cantik, baik lagi. Masa sih gak ada cowok yang mau jadi pacar kakak…”

“Kamu ini pandai memuji juga ya ternyata. Emang kamu mau jadi pacar kakak?” balasku balik menggodanya.

“Siapa juga yang gak mau…”

“Hahaha… dasar kamu ini, masih bocah udah pacar-pacaran”

“Yah, ditolak…” ucapnya garuk-garuk kepala. Aku tertawa terbahak-bahak. Aku langsung merasa akrab dengan bocah ini.

“Eh, kamu mau dengar kakak nyanyi gak?” Aku menawarkannya untuk mendengarkan suaraku.

“Emang kak Dira bisa nyanyi?”

“Ih, kamu gak percaya ya kakak bisa nyanyi? Dengarin yah… siap-siap terpukau yah…” Aku kemudian mematikan radio dan bernyanyi. Aku selalu senang memperdengarkan nyanyianku pada orang lain.

“Gimana? Bagus kan suara kakak?”

“Iya kak, bagus, hehehe”

“Ih, gak ikhlas banget bilangnya, hahaha”

Selama perjalanan kami mengobrol dan bercanda. Dia bercerita tentang kesehariannya, begitupun denganku. Ayah dan ibunya membuka warung makan kecil-kecilan, dekat dengan lokasi aku memarkirkan mobilku tadi. Kadang ayah dan ibunya tidak pulang ke rumah karena menginap di sana. Setelah pulang sekolah, dia biasanya mampir dulu ke sana untuk membantu mereka.

Setelah dekat dengan rumah, aku menawarkannya untuk singgah ke rumahku. Kali ini aku serius mengundangnya. Sekedar untuk minum dan bersantai sejenak. Namun Eko dengan sopannya lagi-lagi menolak ajakanku. Tapi aku kembali memaksanya. Dia tidak punya pilihan selain menerima ajakanku.

“Rumah kakak bagus banget… Beneran kakak tinggal sendirian di sini?” tanyanya takjub melihat keadaan sekeliling.

“Benar…”

“Ohhh… Emang gak capek ngurus rumah gede begini sendiri?”

“Capek juga sih, tapi udah biasa. Cuma kakak jarang banget ngurusin halaman. Kamu mau kerjaan gak? Kamu bisa kerja di sini kalau kamu mau. Ngurusin halaman itu,” tawarku padanya. Dia tampak semangat sekali mendengarnya. Dia mengiyakan tawaranku. Entah karena memang membutuhkan duit atau karena bisa dekat denganku, aku juga tidak tahu.

“Untuk gajimu kita bahas nanti aja yah… masalah gaji gampang deh pokoknya. Kita makan siang dulu ya…” ajakku.

“Duh, gak usah repot-repot kak”

“Udah gak papa… yuk makan. Ntar kakak marah lho kalau kamu gak mau”

Sejak saat itu Eko mulai berkerja di rumahku. Dia datang setiap sore untuk membersihkan halaman dan menyiram tanaman. Aku beri dia gaji 500 ribu satu bulan. Sesekali aku juga memberinya uang jajan. Aku juga membelikannya hape agar aku mudah menghubunginya. Sebenarnya aku salah karena memperkerjakan anak di bawah umur, tapi aku cuma berniat menolongnya.

Aku semakin akrab dengannya. Kadang kami ngobrol sambil dia sibuk membersihkan halaman. Dia masih bersikap sopan seperti biasa. Dia tidak berani masuk ke dalam rumah jika tidak mendapat izin dariku. Matanya yang sesekali melirik ke arah paha dan dadaku ku anggap sebagai hal yang wajar untuk anak seumurannya. Itu sebuah dorongan yang pastinya sulit untuk dia tolak.

Mungkin dia adalah cowok yang paling beruntung dibandingkan yang lain. Hanya dia yang pernah melihat aku memakai pakaian seminim ini. Jika di rumah, aku biasanya memang hanya mengenakan tanktop, celanaku juga amat pendek bahkan ada yang lebih menyerupai celana dalam. Sangat berbeda dengan keseharianku di luar rumah denga busana yang tertutup. Eko juga pernah melihatku hanya mengenakan handuk, tentunya membuat buah dada serta pahaku begitu terekpos. Aku biasanya tidak sembarangan menunjukkan aurat-auratku pada orang lain. Tapi entah mengapa aku gampang sekali pamer aurat di depan bocah kampung ini.

Sudah satu bulan dia berkerja di rumahku. Sejak dia berkerja denganku penampilannya sudah lebih baik. Tidak lagi terkesan dekil. Dia sudah mempunyai seragam sekolah, tas dan sepatu yang baru. Namun untuk wajahnya memang tidak bisa diperbaharui, memang sudah begitu adanya dari lahir, hihi.

Suatu hari di waktu sore aku meminta Eko untuk menolongku membereskan gudang. Gudang itu terpisah dari bangunan utama rumahku. Sudah lama aku ingin membersihkannya, namun aku terlalu capek untuk mengerjakannya sendiri. Mumpung aku punya waktu luang dan mempunyai bantuan tenaga akupun mengerjakannya sekarang. Ada beberapa barang bekas yang mau aku keluarkan dari gudang untuk ku buang, sebagian akan ku jual.

Tampak Eko masih saja grogi bila berada di dekatku. Padahal dia sudah biasa melihat aku dengan pakaian minim begini. Aku senyum-senyum saja melihat gelagatnya. Dasar Eko, dia berani menggodaku, namun bila dekat-dekat denganku dia malah grogi sendiri.

Aku kini telah berkeringat. Membuat debu-debu itu menempel dengan banyaknya di kulitku. Ku lihat Eko semakin salah tingkah.

“Udah cukup Ko beres-beresnya… kalau diterusin kamu nanti bakal gak tahan hihihi,” ucapku kemudian keluar dari gudang. Dia mengikutiku dari belakang. Tubuhku langsung terpapar sinar matahari yang membuat kulitku terlihat mengkilap. Pastinya pemandangan ini begitu erotis untuk dilihat para lelaki. Aku sendiri tidak pernah merasa seseksi ini. Baru kali ini aku yang memakai pakaian minim, sedang keringatan penuh debu dilihat oleh cowok. Beruntungnya Eko.

Kami minum jus dingin setelah itu untuk menyegarkan badan. Tanpa sengaja aku menumpahkan sedikit jus itu ke pakaianku. Membuat bajuku basah di sekitaran buah dadaku. Tentunya itu terlihat jelas oleh Eko. Dia masih terlalu sopan untuk menunjukkan kalau dia sedang mupeng saat ini. Dia berkali-kali mencoba bertahan dari pemandangan indah yang ada di depannya. Pandangannya dari tadi selalu tertuju ke tubuhku, khususnya buah dada dan pangkal pahaku.

“Kakak mau mandi dulu.. kamu boleh pulang kalau mau,” ucapku membuyarkan lamunannya.

“Eh, i-iya kak…“

Dia tidak menjawab apakah dia mau langsung pulang atau tidak. Aku biarkan saja dia memutuskan. Aku lalu masuk ke dalam rumah. Langsung menuju ke kamarku yang ada di lantai dua. Dari jendela kamarku, aku bisa melihat Eko masih ada di halaman belakang dekat gudang tersebut. Aku melihat mulutnya komat-kamit. Tidak terlalu jelas apa yang dia ucapkan, tapi aku bisa mendengar kalau dia menyebut namaku. Selanjutnya aku melihat Eko memasukkan tangannya ke dalam celananya dan menggerak-gerakkannya tangannya di sana. Dia onani.

credit to : bramloser

No comments:

Post a Comment