Saturday, September 29, 2018

Dira (Inilah Yang Kumau) Part 9



Saat ini aku sedang tidur-tiduran di kamar. Rasanya malas banget untuk gerak. Apalagi cuacanya juga mendukung karena mendung terus sejak pagi. Kerjaanku dari tadi hanya mainin handphone, ngelihatin foto-foto yang ada di galery handphoneku, khususnya foto-foto terakhir yang ku ambil. Yaitu foto-foto ketika aku liburan ke rumah orangtuaku dan foto-foto ketika liburan ke Derawan.

Selama liburan di rumah orangtuaku aku tidak kemana-mana dan hanya di rumah saja. Palingan cuma nemenin mama ke pasar. Tapi aku senang, karena aku niatnya emang pengen ketemu dengan orangtuaku saja. Di sana aku jadi anak gadis yang baik dengan bantu-bantu bersihin rumah sama bantu-bantu mama masak, dan pastinya pakaianku selalu sopan dan tertutup seperti yang selama ini diajarkan orangtuaku.


Seminggu setelah liburan di rumah orangtuaku aku lanjut liburan bersama dengan temanku Shinta ke Derawan. Kelakuanku saat liburan di sana malah berbanding terbalik dengan ketika liburan di rumah orangtuaku. Aku kembali bertingkah seperti gadis nakal dengan buka-buka aurat sembarangan. Dari tidak memakai jilbab, memakai baju yang ketat, bahkan sampai telanjang bulat lagi di hadapan cowok-cowok yang bukan muhrimku. Kejadian yang paling berkesan plus menegangkan tentu saja ketika aku telanjang bulat dan difoto-foto di tempat terbuka. Nggak nyangka juga sih. Aku sebenarnya gak ada niat untuk pamer-pamer, apalagi sampai bugil. Tapi aku jadi ikut-ikutan karena para cewek, yaitu Maudy dan Shinta, pada nekat ngelepasin penutup tubuhnya. Lagian banyak yang ngerayuku untuk mau ikutan bugil. Untungnya gak ada yang kenal aku di sana. Satu-satunya yang pernah melihat aku berpakaian tertutup dan berjilbab hanya Shinta. Aku yakin Shinta juga tidak menyangka kalau aku yang biasanya berpakaian sopan berani juga tebar aurat.

Begitu kontras kedua liburanku itu kalau dibandingkan. Kalau ditanya mana yang lebih menyenangkan, aku akan jawab keduanya. Yang satu aku senang karena bisa ngumpul dengan orangtuaku. Yang satunya lagi aku juga senang karena bisa berlibur di tempat yang keren banget dan bisa ‘sedikit’ pamer. Aku juga kenal teman-teman baru. Untungnya para cowok di sana nggak ada yang macam-macam ketika aku nekat buka-bukaan. Semua bisa dipercaya, seperti Dodi dan Eko.

Hmm.... Eko. Sudah lama juga aku tidak melihatnya. Tu bocah apa kabarnya ya? Ish, kok aku jadi mikirin dia lagi. Bodoh ah akunya. Ngapain juga mikirin dia. Aku kemudian memutuskan untuk bangun dari tempat tidur. Rasanya sudah cukup malas-malasannya. Mungkin kalau dibawa mandi bisa bikin lebih semangat gerak.

Aku langsung menuju ke kamar mandi yang ada di kamarku. Gak ada acara lepas-lepas baju karena aku memang sudah telanjang bulat dari tadi, lebih tepatnya sejak mandi pagi kemaren, haha. Itu berarti sudah 24 jam aku gak pakai apa-apa. Belakangan ini kalau di rumah aku betul-betul udah gak pakai pakaian sama sekali lagi. Bahkan sesudah menutup pintu setelah pulang dari luar aku langsung menelanjangi diri di ruang tamu. Duh mama... makin lama makin gak bener aja kelakuan anak gadismu ini. Iya, bukan orangtuaku yang salah tentunya. Mereka sudah mendidikku dengan baik. Akunya saja yang makin lama makin nakal dan makin lacur. Entah sebutan apa lagi yang cocok di alamatkan padaku. Karena memang gadis dari keluarga baik-baik seharusnya tidak semudah itu kasih tonton aurat-auratnya.

Ku perhatikan bayangan diriku di cermin depan wastafel. Aku bangga dengan tubuhku yang menurutku sempurna. “Ih, Mama ini... tubuh sebagus ini seharusnya nggak disembunyikan terus di balik pakaian yang tertutup kan Ma?” Haha, ngomong apa sih aku. Kalau Mama dengar aku ngomong gitu bisa kacau urusannya. Tujuan orangtuaku menyuruhku memakai pakaian yang menutup aurat tentunya untuk menjauhkanku dari hal-hal yang tidak diinginkan, lagipula itu merupakan kewajiban.

Tapi... aku selalu suka mendengar orang-orang yang memuji keindahan tubuhku. Baik dari cewek-cewek apalagi dari para cowok. Semakin lama aku semain gampang mengumbar aurat. Semakin aku nekat pamer aurat, semakin banyak pujian yang ku dapatkan. Bahkan itu bukan lagi kata-kata pujian, tetapi kata-kata jorok yang seakan melecehkanku. Mendengar pujian plus kata-kata jorok itu membuatku jadi horni dan semakin menjadi-jadi untuk menunjukkan aurat-aurat lain yang lebih terlarang untuk dipertontonkan. Jadi jika ada yang merayuku untuk lebih buka-bukaan aku susah untuk menolaknya. Tapi aku tetap teguh hanya sekedar mempertontonkan aurat. Meski akhir-akhir ini aku sudah sampai dipegang-pegang, namun aku masih bisa menahan diri untuk tidak melakukan perzinahan yang sesungguhnya. Gak boleh sampai ML di luar nikah! Apalagi dengan sembarangan orang. Tapi... sampai kapan aku bisa menahannya?

Mungkin... anjuran Mama yang memintaku menikah setelah kuliah ada bagusnya. Jadi aku bisa terhindar dari dosa yang semakin besar. Ah, aku gak mau mikirin dosa. Aku semakin merasa bersalah nanti. Untuk sekarang ku nikmati saja apa yang aku suka. Menikmati apa yang sebenarnya aku mau.

Ku hidupkan shower dan mulai mandi. Ih, kok gampang banget sih aku terangsang sekarang. Karena sentuhan tangan sendiri di buah dadaku aja aku udah merem keenakan. Kalau lagi horni gini kan aku jadi pengen pamer lagi. Aku jadi pengen orang-orang melihat tubuhku dan memujiku lagi. Seingatku sih hari ini kiriman paketku datang. Kalau itu mas-mas yang biasa nganterin, mungkin aku akan menyambutnya dengan telanjang bulat. Atau telanjang bulat tapi masih pakai jilbab? Ya ampun Dira, mikir apa sih kamu. Malah tambah horni kan mikirin begituan. >,<

Aku kemudian lanjut mandi dengan benar dan berusaha nggak mikir yang aneh-aneh lagi. Perutku sudah lapar. Aku pengen cari sarapan. Saat aku selesai mandi akupun memutuskan untuk langsung pakai baju. Kalau bukan karena pengen cari serapan pasti aku bugil terus deh, haha. Seperti biasa, kalau aku keluar rumah pakaianku harus sopan dan tertutup dong. Lagian aku cari serapannya masih di sekitar lingkungan rumahku. Jadi pakaianku nggak boleh yang aneh-aneh. Tidak lupa aku juga memakai jilbabku. Jilbabnya model segi empat biasa, tapi aku gak pakai peniti karena malas repot. Setelah selesai berpakaian, akupun bersiap pergi.

Namun tak ku sangka, ketika membuka pintu depan aku melihat Eko dan komplotannya berada di depan pagar rumahku! Ngapain mereka? Entah sudah berapa lama mereka di situ. Langsung saja ku suruh mereka masuk. Soalnya nggak enak dilihat tetangga.

“Kalian masuk deh, ngapain di sana!” seruku pada mereka.

“Eh, i-iya kak” jawab mereka serempak. Mereka kemudian masuk dengan kepala menunduk. Ada yang sambil saling bisik-bisik. Tampak jelas kalau mereka malu dan segan berhadapan denganku.

“Udah lama di sana? Kok gak masuk aja?” tanyaku ketika mereka sudah berada di teras rumah.

“Kita baru datang kok kak”

“Oh... terus mau ngapain?” Aku pasang wajah jutek.

“A-anu kak... kita mau minta maaf” ucap Eko. Yang lainpun mengikuti. Ku perhatikan mereka satu-persatu. Aku tersenyum geli dalam hati melihat ekspresi mereka yang takut-takut gitu, padahal malam itu mesum banget, haha.

“Yuk masuk... Kita ngomongnya di dalam aja,” ajakku kemudian. Mereka mengiyakan dan mengikutiku masuk ke dalam. Sekarang kami sudah duduk di ruang tamu.

“Jadi kalian ke sini mau minta maaf ya?” Aku masih sok jutek.

“I-iya kak.... Soalnya kita udah bikin kakak marah hari itu,” jelas Arman. Hmm... Aku sebenarnya tidak yakin apa mereka benar-benar salah sehingga harus minta maaf. Karena malam itu akulah yang marah-marah nggak jelas setelah mendengar Eko sudah punya pacar dan udah ML dengan pacarnya. Kalau ucapan maaf mereka itu karena kelakuan mesum mereka padaku itupun juga nggak perlu. Karena akulah yang sudah memancing mereka sampai berani berbuat cabul. Aku sudah mengikhlaskan ketelanjanganku dinikmati mata mereka dan ikhlas digerepe-gerepe mereka malam itu. Jadi, kalau dipikir-pikir sih mereka sebenarnya nggak salah sama sekali dan nggak perlu minta maaf.

“Iya kak, mau kan kakak maafkan kita?” ucap Eko kemudian. Duh bocah ini, dia gak sadar kalau karena dialah aku jadi marah-marah waktu itu. Tapi ya sudahlah... aku nggak mau mikirin itu lagi. Malah aku... entah kenapa aku senang bisa melihat Eko lagi. Aku kemudian tersenyum mengangguk pada mereka. Seketika mereka terlihat girang.

“Udah? Apalagi?” Kesan juteknya sudah hilang karena aku udah terlanjur ngasih senyum barusan, haha.

“Itu aja sih kak, kami hanya mau minta maaf aja... Kakak ga marah lagi kan?” tanya Arman.

“Kakak pikir kalian mau merkosa kakak... Habisnya datangnya rame-rame gini, hihihi” Duh ngomong apa sih!? >,<

“Mau banget kalau boleh” Si Riki langsung nyahut setelah dari tadi hanya diam. Kalau yang beginian bocah itu selalu yang paling vokal. Dasar.

“Yeee... yang namanya merkosa itu ya pemaksaan, mana ada merkosa dibolehin sama yang diperkosa, bego ih...” balasku.

“Kalau gitu kakak suka rela aja...”

“Ih, dasar kamu ini... Jangan ngarep deh” ucapku yang langsung dibalas tertawaan mereka. Aku berusaha santai di tengah obrolan yang menjurus cabul ini. Deg-degkan juga sebenarnya. Aku harap mereka beneran gak ada niat untuk merkosa aku.

“Oh ya, kakak mau kemana?” tanya Eko kemudian yang sepertinya sadar kalau aku mau pergi. Eko tentunya tahu betul kalau aku berpakaian sopan begini pasti karena ingin keluar rumah.

“Mau cari serapan sih tadi...”

“Oh... kakak belum serapan ya?” tanyanya lagi.

“Iya... keburu kalian datang soalnya”

“Kakak mau serapan apa? Biar aku pergi beli kak...” tawar si Riki cepat.

“Hahaha... Baik banget... ya udah kalau kamu mau. Tolong beliin kakak lontong sayur yah.... Yang di samping mini market itu lho... Eh, kalian udah serapan belum? Pasti belum juga kan?” Aku keluarkan dompetku dan mengambil selembar uang seratus ribu “Nih, beli untuk kalian juga...” ucapku sambil menyerahkan uang tersebut pada Riki.

“Hehehe, udah cantik, baik lagi” sahut Riki.

“Kak Dira emang yang terbaik deh, beruntung kita bisa kenal kak Dira” ujar Didik.

“Iya... makasih ya kakak cantik, hehe” ucap Arman juga. Senangnya dipuji, hihihi. Seperti yang mereka bilang, mereka memang beruntung bisa kenal aku. Mereka pasti rugi banyak kalau nggak main-main ke rumah aku lagi. Tapi kayaknya aku memang udah terlalu baik pada mereka. Bisa-bisa mereka bakal ngecengin aku tiap hari kalau gini. Gak mikirin ah. Terserah mereka mau ngapain asal nggak ganggu aku. Ku harap mereka juga tahu diri dengan tidak ngerepotin aku.

“Ya udah sana berangkat,” suruhku pada Riki biar dia cepat pergi. Aku beneran lapar soalnya!

“Oke kak” Rikipun langsung berangkat menggunakan motorku.

Singkat cerita, setelah Riki kembali kamipun serapan bersama. Aku sih nyaman-nyaman saja berada di tengah mereka. Aku percaya mereka tidak akan macam-macam tanpa seizinku. Sambil makan kami asik ngobrol dan bercanda. Seperti biasa, obrolan mereka sesekali pasti lari menjurus cabul. Kadang terdengar seperti melecehkanku. Aku maklumi saja karena mereka memang sudah begitu dari sananya. Bahkan kadang ku ladeni obrolan mereka karena moodku sedang bagus.

Mereka kembali memintaku untuk mengajari mereka. Sepertinya mereka masih punya semangat tinggi untuk belajar. Tapi sayang banget, aku sudah tidak niat lagi jadi guru. Meski mereka terus meminta tapi aku tetap tidak mau. Namun aku masih memperbolehkan mereka kalau sesekali ingin main ke rumahku. Dengan syarat janji tidak akan macam-macam. Mereka setuju. “Yang penting bisa ketemu kak Dira yang cantik dan seksi,” kata mereka.

“Oh ya, kakak gak ganti baju? Kan gak jadi keluar kak... ganti aja bajunya, hehe” usul Didik kemudian. Yang lain ikutan mengatakan hal yang sama. Duh, sepertinya mereka semua tahu kalau pakaianku memang tidak sesopan ini jika hanya di rumah.

“Ngapa? Ngarep kakak pakai baju apa emangnya?”

“Ya diganti dengan yang lebih santai... emang kakak gak kepanasan?” pancing Riki.

“Hmm... gak deh, kakak mau pakai ini aja...” jawabku simpel. Bisa aja aku menuruti keinginan mereka dengan berganti pakaian yang mengundang syahwat. Tapi aku tidak ingin pamer di hadapan mereka lagi. Takut keblablasan. Nanti kalau aku udah ganti pakaian dengan yang lebih minim, pasti ujung-ujungnya minta aku telanjang. Lalu pasti keterusan minta yang macam-macam. Mungkin seru dan menegangkan sih. Bisa aja sebenarnya karena aku memang menyukai sensasi telanjang dikelilingi cowok-cowok. Tapi tetap aja itu bahaya banget. Gak boleh sering-sering, apalagi di hadapan para abg penasaran ini. Aku rasa cukup sekali malam itu saja aku nyenengin mereka.

Aku harap mereka tidak terus merayuku, karena bisa saja aku berubah pikiran. Aku kan gampang banget nurut kalau udah dipuji-puji dan dirayu. Untungnya mereka memang tidak mendesakku. Pada akhirnya aku tetap memakai pakaianku ini, masih lengkap dengan jilbabnya.

“Kakak tinggal bentar yah... mau bersih-bersih rumah dikit... kalian anggap aja rumah sendiri. Kalau mau nyalakan tv silahkan, kalau mau main komputer di kamar kakak juga boleh” ujarku. Setelah aku berkata begitu mereka sebenarnya ingin membantuku bersih-bersih. Tapi aku tolak. Akhirnya mereka memilih untuk main komputer di kamarku. Boleh aja. Asal mereka gak berbuat aneh-aneh aja sih di sana.

Setelah beberapa saat berlalu, aku sudah selesai bersih-bersih. Capek juga. Panas. Jadi pengen telanjang dibuatnya. Tapi kan lagi rame. Telanjang nggak yaaah? hihi. “Boleh nggak sih Ma aku telanjang sekarang?” Lagi-lagi aku ngomong ngaco di hadapan foto orangtuaku yang dipajang di ruang tengah. Kok aku jadi sering ngomong seperti itu yah sekarang!? Kacau ih.

“Telanjang aja kak, hehe” tiba-tiba ada yang ngomong di belakangku. Terkejut aku dibuatnya. Ternyata itu Eko.

“Duh, kamu ini Ko, ngagetin kakak aja”

“Hehe, maaf deh kak... abisnya lucu dengar kakak ngomong sendiri gitu... Beraninya cuma lewat foto, coba ngomong langsung dong kak... hehe”

“Ih kamu ini...”

“Hehehe, maaf kak, maaf” dia tertawa, akupun ikutan tertawa. Gak kebayang deh apa jadinya kalau aku beneran ngomong gitu ke Mama. Yang pasti aku bakal ditampar.

“Kamu gak ikutan main?” tanyaku kemudian.

“Udah kak, bosan... ini rencananya mau pulang aja”

“Oh... Mau pulang ya... Yang lain masih main komputer?”

“Masih kak”

“Mereka gak berbuat yang aneh-aneh kan di kamar kakak?”

“Gak kok kak...”

“Bagus deh... awas aja kalau kamar kakak jadi berantakan” Aku meneguk air dari gelas yang sedang ku genggam, kemudian bertanya pada Eko. “Asik ya sekarang kamu udah punya pacar?” Ditanya begitu dia hanya senyum-senyum sambil garuk-garuk kepala. “Kok ketawa? Ditanyain malah ketawa...” ujarku lagi.

“Ya.. asik juga sih kak” jawab Eko kemudian.

“Oh... asik karena bisa ML ya?”

“Eh, i-itu... bu-bukan kok kak” Eko jadi salah tingkah.

“Hahaha, malah grogi kamu... Cantik ya pacarmu itu?” godaku lagi.

“Lebih cantik kakak sih...”

“Terus?”

“Iya... habisnya kak Dira gak mau aku ajak ngentot” jawab Eko dengan polosnya. Seenaknya aja dia jawabnya begitu. Meski terdengar kurang ajar, tapi itu mungkin memang jawaban yang jujur darinya. Aku tidak bisa marah.

“Duh... kamu ini Ko... Jadi kamu pacaran dan ML dengan pacarmu karena gak bisa ML dengan kakak?” tanyaku memastikan. Dia kembali garuk-garuk kepala cengengesan. Sepertinya memang itulah alasannya. Kok cowok itu seenaknya aja ya? “Terus kamu sering ML dengan pacarmu itu? Siapa namanya?”

“Susi”

“Iya, Susi... sering?” Aku sudah kayak polisi yang sedang introgasi saja nanya-nanya terus.

“Lumayan sih kak...” jawab Eko. Aku geleng-geleng kepala. Lagi-lagi aku merasakan perasaan aneh di dadaku. Mungkin itu rasa prihatin karena dia udah mengenal seks di usia semuda itu. Tapi mungkin juga itu adalah perasaan cemburu.

“Pakai kondom kan?”

“Ngg.... nggak kak”

“Duh... kalau dia sampai hamil gimana coba!? Atau kamu sampai ketularan penyakit gimana coba!? Kamu ini...” Aku jadi marah dibuatnya. Dia kayak anggap remeh aja pentingnya kondom. Nggak tahu deh dia itu memang gak tahu atau memang gak peduli. “Nanti biar kakak beliin untuk kamu!” ujarku kemudian.

“I-iya kak...” jawab Eko menunduk. Aku harap dia memikirkan apa yang kubilang dan menyadari kesalahannya. Terlalu banyak kebodohan yang sudah dilakukan bocah ini. Namun yang paling membuatku marah adalah karena dia menjadikan pacarnya sebagai pelampiasan. Itu sama saja dengan mainin cewek. Sumpah aku gak suka cowok kayak gitu. Aku tidak suka cowok yang ku kenal melakukan hal seperti itu.

“Ko... kayaknya kita gak bisa kayak dulu lagi” ucapku kemudian setelah beberapa saat saling diam.

“Maksud kakak?”

“Kakak tahu kalau kamu pasti kangen sama kakak... kamu datang ke sini pasti bukan sekedar ingin minta maaf kan? Tapi juga kangen pengen enak-enakan lagi kan sama kakak?”

“....”

Aku usap-usap kepala bocah itu. “Kakak nggak mau kamu menduakan pacarmu... Kakak mau kamu harus setia dan pegang komitmen kalau emang pacaran sama Susi... Kalau kamu masih mesumin kakak itu sama saja kamu mempermainkan pacarmu. Jadi, kakak pikir sebaiknya kamu gak usah main ke sini lagi. Hari ini terakhir ya sayang...”

“Kak... tapi...” Eko terlihat bingung. Raut wajahnya mengatakan kalau dia tidak terima dengan apa yang aku katakan. Dari raut wajahnya aku juga bisa melihat kalau dia sedih aku bilang begitu. Biarkan saja. Aku harap dia belajar dari kesalahannya. Aku ingin suatu saat nanti bocah ini jadi lelaki yang lebih bertanggung jawab. Terutama pada perasaan perempuan. Aku tidak ingin Eko jadi cowok brengsek. Jadi ini mungkin yang terakhir dia boleh main ke sini.

“Kamu janji yah jangan nyakitin hati pacarmu? Kamu harus janji bakal setia... bisa kan?”

Eko hanya mengangguk. Bocah itu harus menerimanya. Aku harus mengajarkannya untuk bertanggung jawab dengan pilihan yang dia ambil. Kalau dia sudah pacaran dengan Susi ya harus terus dengan Susi, jangan mesumin aku juga, bahkan menemuiku lagi juga tidak boleh. Kalau itu bukan Eko mungkin aku gak peduli, tapi aku sudah menganggap Eko seperti adik sendiri, bahkan lebih. Untungnya Eko tidak berubah pikiran dan mengatakan kalau dia akan ninggalin pacarnya demi aku. Coba aja kalau dia ngomong begitu. Karena kalau sampai dia ngomong begitu aku pasti akan marah banget.

“Kamu tunggu sebentar ya... kakak mau keluar dulu” kataku kemudian. Segera ku ambil kunci motorku dan langsung menuju ke mini market.

Di mini market aku membeli... kondom untuk Eko! Kok aku mau ya melakukan ini untuknya!? Aku cari mini market yang agak jauh dari rumah biar gak ada yang kenal aku. Duh, malu banget sebenarnya beli begituan. Kasirnya melihatku terus. Mungkin heran melihat cewek berjilbab membeli kondom dalam jumlah banyak. Kasirnya sampai bertanya untuk apa beli sebanyak ini. Aku jawab aja untuk pacarku. Sewaktu bertransaksi, di belakangku juga banyak yang antri. Mereka pasti juga heran. Seorang ibu-ibu bahkan sempat menceramahiku, bilang kalau seks bebas itu gak baik dan dosa. Aku diam saja karena malu. Ah... gila, malu banget! Setelah selesai cepat-cepat aku pergi dari sana. Aku gak mau ke mini market itu lagi!

Setelah sampai di rumah aku langsung menghampiri Eko. “Yuk kita ke kamar... tapi ini yang terakhir” ajakku menarik tangannya menuju kamar kosong. Eko nurut-nurut saja ku tarik. Setelah di kamar aku tutup pintu dan ku kunci biar gak diganggu sama teman-temannya. Jadi mereka nanti mengira kalau Eko memang sudah pulang. Aku juga sudah menyembunyikan alas kaki Eko tadi. Kamar ini biasanya dipakai orangtuaku kalau lagi kemari. Dan saat ini kamar tersebut dipakai anak gadisnya untuk berduaan dengan laki-laki di bawah umur yang bukan muhrimnya.

“Kakak tadi kemana?”

“Beli ini... untuk kamu” ucapku menunjukkan isi kantong plastik. “Kakak mati-matian nahan malu tau belinya, jadi kamu harus pake ini kalau mau ML sama pacarmu... oke?”

“O-oke kak... maaf yah kak”

“Iyaaah, gak papa... tapi kamu pandai kan makainya? Kalau nggak pandai sini kakak ajarin,” ucapku senyum-senyum. Ada-ada saja aku. Padahal aku juga gak ngerti. Mana pernah aku nyentuh beginian. “Yuk kita coba... cocok nggak kamu makainya, hihihii” ucapku lagi.

Dengan masih senyum-senyum ke Eko aku mulai membuka pakaianku satu persatu. Bukannya membuka jilbab terlebih dahulu, aku justru membuka baju dan celanaku terlebih dahulu. Akhirnya aku telanjang bulat, namun masih menyisakan jilbab. Semua aurat-auratku yang seharusnya gak boleh terlihat terpampang bebas, hanya rambutku yang tertutup oleh jilbab. Ya, aku memang pengen telanjang di depan cowok namun masih pakai jilbab saat ini. Aku tahu ini gak bener. Masa telanjang tapi masih pakai jilbab. Tapi kok asik ya. Rasanya gimana gitu. Campur aduk rasanya. Malah karena menganggap ini gak benar makanya aku jadi makin horni.

“Kak Dira makin cantik aja...”

“Hahaha.. makasih... kamunya aja yang lama gak lihat” balasku. “Emang cantikan mana sama pacarmu?” tanyaku tersenyum semanis mungkin sambil berpose di depannya. Aku berputar untuk menunjukkan bagian samping dan belakang tubuh telanjangku.

“Kakak dong...”

Aku tertawa mendengar jawabannya yang jujur. Tentu saja aku yang lebih cantik. Tubuhku kan emang selalu kujaga dan ku rawat. Apalagi selama ini juga selalu tertutupi pakaian yang sopan. Mungkin dia nyesal kali yah udah pacaran sama Susi. Rasain deh, hahaha. Aku kemudian mengambil bungkusan kondom tadi dan membukanya. Ku buka di depan wajahku sambil senyum-senyum nakal ke Eko. Entah apa yang ada dipikirannya. Dia mungkin sedang mupeng abis. Aku juga horni banget karena kelakuanku sendiri. Aku tidak pernah membayangkan sebelumnya bakal pegang-pegang kondom gini.

“Sini” panggilku. Eko yang mengerti dengan cepat membuka seluruh pakaiannya hingga telanjang bulat. Tampak penisnya udah tegang banget. Bocah itu kemudian mendekat. Geli banget melihat Eko yang langsung ngocok-ngocok penisnya. Aku kemudian berlutut di depannya. “Ini kayak mana pasangnya ya...” gumamku. Baik aku maupun Eko sama-sama gak pengalaman pasang kondom. Tapi aku tahu teorinya sih. Lihat di film porno juga pernah sepintas.

“Langsung disarungkan aja kayaknya kak” ucap Eko memberi masukan. Eko ku yakin juga pernah melihatnya di film porno.

“Iya... gini kan?” Aku langsung menyelubungkan penis bocah itu dengan kondom. Ku lakukan pelan sambil sedikit mengurut penisnya.

“Ahh... kak”

“Kenapa?”

“Enak... hehe” ucapnya cengengesan. Aku tertawa kecil. Jantungku tentunya berdetak kencang saat ini. Benar-benar pengalaman baru bagiku memasangkan kondom ke alat kelamin cowok. Gila banget. Lebih gilanya lagi aku melakukannya sambil masih memakai jilbab namun telanjang. “Duh Ma... anak mama ini sudah seperti lonte berjilbab” aku bergumam pelan.

“Ngomong apa kak?”

“Eh, ng-nggak... Udah tuh... Cocok deh kamu pakainya” ujarku setelah selesai memasangkan kondom tersebut ke penis Eko. Lucu juga melihat penis bocah itu yang dibungkus begituan. Warnanya merah transparant, sungguh kontras dengan kulit penisnya yang gelap. Katanya sih ada rasanya, jadi pengen coba jilat, haha.

Aku lalu bangkit berdiri kemudian duduk di tempat tidur.

“Makasih kak...”

“Jadi ingat ya... kalau mau ML dengan pacarmu harus pakai kondom kayak gini”

“Iya...” Eko kembali mengocok penisnya sendiri. Jelas sekali kalau dia sedang mupeng berat. “Seandainya kakak mau aku entotin, pasti enak banget” Eko berkata vulgar.

“Ahh... kamu Ko...jangan maruk dong... udah punya pacar kok pengen ngentotin kakak juga” akupun juga membalas ucapannya dengan vulgar.

“Ayo dong kak.. mau dong aku entotin... kali ini aja... udah gak tahan nih kak...”

“Enak aja... nggak mau!”

“Ah kakak... plis kak... aku nafsu banget lihat kakak...” ucap Eko terus memohon. Ku lihat kocokannya makin cepat. Dia kemudian mendekatiku.

“Nafsu ya silahkan, tapi kamu tetap gak boleh setubuhi kakak”

“Tanggung nih kak.. udah pasang kondom juga” katanya lagi.

“Yee... kan gak berarti habis itu boleh ngentotin kakak... Kalau mau ngentot sana ke pacarmu”

“Aku pengennya sama kakak... gak tahan banget liat kakak” ujarnya yang kali ini berani pegang-pegang tanganku.

“Pokoknya nggak... Memohon seperti apapun kakak juga gak bakal bolehin...” kataku lagi yang membiarkan dia mengelus-elus tubuhku. Setelah capek memohon namun tidak ku bolehkan akhirnya Eko diam. Tapi sepertinya dia belum menyerah untuk bisa setubuhi aku. Tangannya masih belum berhenti mengelus-elus tubuhku. Sepertinya dia sedang membandingkannya dengan kulit pacarnya itu. Pasti beda jauh kualitasnya. Ya iya dong...

“Mulus kak... putih banget... ah kak Dira.. pengen ngentotin kakak” Eko kemudian naik ke tempat tidur. Dia lalu memelukku dari belakang sambil tangannya makin gila menggerepe-gerepe bagian depan tubuhku, terutama buah dadaku. Sambil menggerepe, dia terus mencium wajah, leher dan pundakku. Ah, gila.. aku horni dibuatnya. Dia kok agresif ya sekarang. Dulu gak gini-gini amat. Eko kayaknya sejak merasakan ML jadi makin parah nafsunya. Kalau gini terus aku bisa beneran disetubuhi Eko!

“Ah... Ko... kamu ini...” hanya itu yang bisa kuucapkan menerima perlakuan darinya. Aku tidak berusaha melepaskan diri. Justru terus menikmati apa yang dia lakukan ke tubuhku.

“Ngentot ya kak...” bisiknya pelan ke telingaku. Tangannya sedang menggeliti kedua puting buah dadaku.

“Ah Ko, geli...” rintihku. Eko cuek saja. Dia lalu menarik tubuhku jatuh hingga membuat tubuhnya tertindih olehku. “Aww Ko...” Hal yang terjadi selanjutnya yaitu kami jadi guling-gulingan. Bergantian saling tindih. Dia masih tidak henti-hentinya mencium wajahku sambil tangannya terus menggerepe-gerepe tubuhku. Bagian yang paling disentuhnya adalah buah dada dan pantatku. Duh, bocah ini betul-betul horni padaku. Dan dia juga tampaknya sedang berusaha membuat aku makin horni. Kacau nih. >,<

“Ngentot... pengen ngentotin kakak... Kak Dira yang cantik dan seksi.. aku pengen entotin kakak” Eko makin menjadi-jadi meracaunya. Satu tangannya kini berada di vaginaku dan mengelus-elus di sana sambil satu tangannya lagi masih asik bermain di buah dadaku. Aku singkirkan tangannya yang berada di vaginaku, namun tak lama dia kembali meletakkan tangannya di sana. Aku singkirkan lagi, tapi dia mengulangnya lagi. Ah... bocah ini. Akhirnya ku biarkan saja. Kalau hanya sekedar mengelus sepertinya tidak apa-apa.


Credit to : bramloser

No comments:

Post a Comment