Saturday, September 29, 2018

Dira (Inilah Yang Kumau) Part 14



Dulu, aku pernah punya pikiran nakal, kalau suatu saat mungkin aku akan diperkosa jika terus sembarangan pamer aurat. Aku tidak menyangka kalau hari itu beneran akan datang. Bahkan dua kali dalam sehari! Untungnya belum sampai ‘kejadian’, cuma nyaris saja. Dua kali aku mengalami percobaan pemerkosaan, dua kali pula aku diselamatkan. Aku beruntung diselamatkan di saat-saat genting, tepat sebelum kegadisanku hilang. Tapi tetap saja, seandainya aku dengerin apa kata orangtuaku, seandainya aku tidak sembarangan nunjukin aurat, tentunya ini tidak akan terjadi. Terbukti memang kalau semua yang diajarkan orangtuaku itu manfaatnya untuk aku juga. Untuk melindungi aku. Tapi aku terlalu bandel. Membangkang. Lebih tertarik dengan pujian-pujian orang. Lebih memilih larut dalam birahi dari pada takut akan dosa.


Setelah semua yang terjadi hari ini, aku ingin sekali ditemani. Bukan karena trauma atau takut diperkosa lagi. Sama sekali enggak. Aku hanya tidak ingin sendiri malam ini. Jadi, aku meminta kak Ochi untuk datang menemaniku. Tapi seandainya bisa memilih, aku ingin Eko lah yang menemaniku. Namun Eko terlalu sibuk untuk tetap di sini bersamaku.

Aku masih di kamar mandi saat mendengar kak Ochi datang. Sebenarnya sudah dari tadi aku selesai mandi. Toh sebenarnya aku cuma perlu cuci muka karna sebelumnya aku sudah mandi seadanya di teras. Tapi saat melihat bathtub tadi aku langsung jadi pingin berendam air hangat. Dan aku orangnya paling betah berlama-lama meringkuk berendam di bathtub sambil melamun.

Cukup lama juga kak Ochi, pikirku. Kayaknya satu jam lebih berlalu sejak Eko pulang tadi. Dalam lamunan di bathtub tadi sebenarnya sempat terbesit penyesalan kenapa aku meminta kak Ochi datang. Rasanya tak enak merepotkan dia yang baru saja kukenal siang tadi. Banyak teman lain yang cukup lama kukenal yang seharusnya bisa kuminta datang. Kenapa harus kak Ochi? Jelas sih, aku pingin curhat dan nyeritain yang barusan kualami tadi. Sesuatu yang tidak bisa kushare dengan sembarang orang. Tapi, aku jadi berpikir, apakah kak Ochi bukan sembarang orang juga? Yah beginilah fenomena era sosial media. Mendekatkan yang jauh dan menjauhkan yang dekat. Hanya karena satu grup whatsapp, rasanya kok udah jadi kayak teman lama yang akrab banget. Aku agak menyesal meminta kak Ochi datang, tapi aku juga tak melakukan apapun untuk membatalkannya, sampai tahu-tahu aku mendengar samar suara kendaraan berhenti di depan rumah, gerbang dibuka, dan pintu diketuk. Tentu kemungkinan besar itu kak Ochi.

‘Klunting.’

Kudengar tanda notifikasi pesan masuk.

Dengan 1 jari kucek HP yang tergeletak di samping bathtub. Kak Ochi mengirim pesan memberitahu bahwa dia sudah di depan dan minta ijin masuk. Sejak sebelum mandi tadi memang sudah kusampaikan padanya untuk langsung masuk aja kalau sudah sampai. Aku pun menjawab singkat, “ya” dan kububuhi emoticon senyum.

Aku pun beranjak dan melangkah keluar dari bathtub. Airnya sudah mulai dingin juga, kalau masih berlama-lama lagi bisa-bisa aku malah masuk angin. Agak lama aku handukan, sambil mematut-matut wajah di depan cermin di kamar mandi. Mengagumi diri sendiri dulu. Kebiasaan, ritual sehabis mandi, hihihi.

Aku tidak membawa pakaian apapun juga ke kamar mandi tadi. Jadi aku harus keluar dari kamar mandi dengan masih telanjang. Gak masalah sih, secara aku memang berniat tetap bertelanjang ria di rumah meski akan ada kak Ochi. Tapi kok nggak ada suara kak Ochi manggil-manggil ya? Pelan-pelan aku melangkah keluar dengan mendekap handuk di dadaku. Dengan itu tubuh bagian depanku tertutup, namun lekuk indah bagian belakang tubuh telanjangku terekspos bebas. Saat aku keluar dari kamar mandi, kak Ochi sudah duduk manis di tepi ranjangku.

Kak Ochi tersenyum dan menyapaku. "Hai Dira..."

"Hai kak..." balasku. Sejenak aku terdiam mengagumi kak Ochi yang tampak cantik sekali dengan gamis biru panjangnya.

"Hihihi, ya ampun kamu..." Kak Ochi tertawa melihat aku cuek menelanjangi diri di depannya. Handukku itu sudah ku taruh di tempatnya. Aku meringis dan tersipu malu, buru-buru aku melompat ke ranjang dan menyembunyikan tubuhku di balik selimut.

"Aku kalo di rumah nggak pernah pakai baju kak..." Aku menjelaskan tanpa ditanya.

“Walau ada tamu?”

“Mmm... Kan kak Ochi doang…”

“Aku nggak doang lho... tuh....” Sahut kak Ochi tertawa sambil matanya melirik ke arah pintu kamar.

Sambil bertanya-tanya kutolehkan wajahku ke arah pintu dan, “Ahh...!” Spontan aku memekik kecil. Ternyata kak Ochi datang sama adiknya! Fadel! Reflek kutarik selimut untuk menutupi wajah dan kepalaku sehingga seluruh tubuhku lenyap tersembunyi di balik selimut. Seperti anak kecil yang takut pada hantu ketika tidur sendirian di kamar. Maigat! Kak Ochii… ternyata sedari tadi ada adeknya berdiri di depan pintu tapi tak kusadari kehadirannya.

Kudengar tawa cekikikan kak Ochi, lalu kurasakan Fadel mendekat dan ikut duduk di tepi ranjangku menjejeri kakaknya. Jantungku berdebar keras. Aku yang malu malah merasa konyol. Sejenak kemudian aku sedikit menurunkan selimut sebatas mataku bisa mengintip. Kudapati kak Ochi yang masih tertawa kecil dan Fadel yang meringis menatapku.

“Halo…” Sapanya canggung.

“Udah dari tadi kamu di situ?” Tanyaku.

“Sejak awal kak… Hehe…”

“Hihi, kamu imut deh kalo malu-malu gitu Ra…” Ledek kak Ochi. “Adekku udah tau kamu dan udah lihat semuanya juga kok… Hehe. Dia sering ikut nyimak grup kita… Kadang malah dia yang komen. Hahaha!” tambahnya lagi. Oh iya, aku jadi ingat, awal-awal obrolan di grup buka-bukaan itu kak Ochi share foto bugilnya di teras rumah, setelah itu share foto wajahnya yang baru dipejuin. Dia tidak selfie tapi difotoin sama seseorang. Tentu saja orang itu adalah adeknya ini.

“Selama ini aku di grup itu sebagai pasangan, couple dua sejoli gitu deh, aku sama adek. Hihihi… Aku udah bilang di awal, dan yang lain gak keberatan. Tapi itu sebelum kamu masuk sih. Hehe…” Jelas kak Ochi sambil menoleh pada Fadel, lalu membelai pipinya gemas. Fadel tersenyum saja.

"Enak ya tinggal sendirian... Aku kalo telanjang-telanjangan kayak gitu di rumah, habis deh dipejuin terus sama adekku ini..." Lanjut kak Ochi langsung menjurus ke hal cabul. Tangannya mengucel-ngucel rambut Fadel. Darahku berdesir. Ada perasaan aneh dan takjub melihat kemesraan dua kakak beradik ini.

“Hehehe, aku kali kak yang habis, dikuras terus sama kakak…” Fadel membalas tak kalah cabul.

“Yee, kan kamu yang kuras sendiri”

“Tapi kan gara-gara kakak…”

Kak Ochi cekikikan lagi. “Emang kalo gak dikeluarin bisa penuh kontolmu ya dek? Nanti bisa meledak ya? Hihihi” Tangan kak Ochi masih gemas ingin mengusili Fadel, tapi Fadel menangkis-nangkis dan mencoba menangkap tangan usil kakaknya itu. Kak Ochi berontak dan mendesah manja ketika tangannya berhasil ditangkap oleh Fadel. “Adek! Aah…” Keduanya cekikikan. Duh… Mereka malah makin pamer kemesraan di depanku. -,-

Aku jadi membayangkan bagaimana sehari-hari kak Ochi dengan Fadel. Bagaimana split personality dan pertentangan batin yang mungkin mereka alami. Satu sisi mungkin dibesarkan dengan ajaran agama yang kuat, tapi di sisi lain tidak bisa menahan diri dari nafsu seksual antara mereka sendiri. Cinta dan kasih sayang mereka sebagai kakak adik, berubah menjadi hubungan yang cabul. Kakak beradik kandung. Sedarah. How cute. Ya. Aku tidak menghakimi mereka, tapi justru berkhayal andai punya adek yang usianya tidak jauh beda denganku, mungkin aku akan sama dengan kak Ochi. Dengan Eko sih adek-adekan doang >,<

“Kak Ochi tinggal berdua aja ya sama adek? Gak ada ortu?” Aku bertanya menginterupsi tingkah mereka.

“Iya, Papa Mama jauh… Eh, Ra, jangan panggil aku kakak dong…”

“Aa… Masa gitu, gak enak ah sama senior…”

“Idih, aku kan cuma satu angkatan di atas kamu, kayak yang udah senior banget aja… Panggil Ochi aja yah… Kayak di grup.”

Aku terdiam. Iya juga sih, sebelumnya di grup aku juga memanggil semuanya dengan nama aja. Tapi setelah bertemu langsung dengan kak Ochi, fakta bahwa dia senior yang cukup populer di kampusku, dan juga bagaimana kak Ochi adalah penolongku ketika hampir diperkosa oleh pak Tarno, membuatku reflek memanggil dia ‘Kak’. Respek.

“Ayo panggil Ochi!” Suruhnya.

“Ochi…” Jawabku meringis.

“Hihihi, jangan panggil kakak lagi ya, aku jadiin adek beneran kamu nanti…” Ucap kak Ochi… Eh, Ochi.

"Kalau aku jadi adekmu, berarti jadi kakaknya Fadel juga dong... Hehe"

"Iyaa... Duh, bakal kesenengan banget nih si Fadel kalau punya dua kakak cantik" Timpal Ochi. “Eh Ra, maaf ya aku gak bilang-bilang ajak Fadel ke sini… Kalau kamu keberatan gapapa diusir aja ni anak, haha.”

"Apaan sih kak... Aku kan tadi emang cuman diminta nganter doang... ya udah kalau gitu aku pulang deh," tukas Fadel cepat.

"Yeeee... Jangan ngambek dong dek... Kali aja kamu liat Dira bugil trus gak mau pulang, hihihi"

"Lho, eh, gapapa kok kak... Eh... Chi. Fadel ikut nginap aja, gak usah pulang, udah malam..." Sergahku.

"Jangan Ra, ga enak.. Emang tadi Fadel cuman kusuruh ngantar doang kok... Harusnya tadi ngedrop aku doang trus langsung cabut. Tapi aku pikir kusuruh ikut masuk bentar, kali aja ada apa-apa yang dia bisa bantu... Eh malah dapat rejeki ya dek? liat cewek seksi bugil. Hahaha..." jelas Ochi sambil melirik Fadel yang langsung senyum-senyum sambil menggaruk kepalanya.

"Yaah, kalo Fadel pulang aku malah yang gak enak ka... eh, Chi... Ochi! Duh, udah ngerepotin kamu, eh ngerepotin Fadel juga... gak usah pulang ya... nginap sini ajaa..." Bujukku. Kulihat Fadel yang jadi obyek pembicaraan tampak rikuh dan gak enak sendiri. "Gapapa dek, gak usah pulang ya..." ucapku meyakinkannya.

"Hehe, gak nyesel kamu Ra? Ntar kamu diperkosa aku gak tanggung jawab lho..." celetuk Ochi.

"Apaan sih kak" Protes Fadel kesal.

Aku tertawa. "Kakak kamu usil banget ya?"

"Tauk nih."

"Tapi beneran kamu gak pingin perkosa aku?" Aku malah terpancing untuk ikut menggodanya. Bahkan kini selimutku sudah kuturunkan dan kudekap di dadaku. Pundak telanjangku dan sedikit belahan dadaku terekspos jelas. Benar saja, seketika wajah Fadel memerah. Aku sendiri juga berdebar-debar sebenarnya. Melihatku berani menggoda Fadel tak urung Ochi tertawa geli lagi. Tapi tampaknya dia kasihan melihat Fadel terus salah tingkah. Dipeluk dan diciumnya adeknya itu dengan sayang. "Duh, udah dong Ra... Kasian adekku dibully terus. Hihi..."

"Apaan, kamu sendiri kalik..." kilahku tertawa.

"Dek, nginap sini ya... tu udah dibolehin Dira... Bener boleh kan Ra...?"

"Iyaa... gak usah pulang ya? Mobilnya masih parkir di luar ya? Mau dimasukin ke garasi? Tapi kalau di luar juga gapapa sih, aman kok..." ujarku.

"Dia tu pingin pulang karna mau nonton TV aja tuh Ra... Ada bola. Tadi waktu kuminta nganter keberatannya gitu, pingin nonton bola..." jelas Ochi.

"Laah, nonton di sini aja kan bisa. Jam berapa sih mainnya?"

"Masih bentar lagi sih kak...Aku pulang aja deh kak, gak enak"

"Gak boleehhh... iih adekmu bandel amat sih dibilangin..." tukasku sok merengut dan galak. Ochi langsung tertawa geli lagi. Fadel sendiri tertegun, tak menduga aku ngomong begitu. Aku juga asal ngomong sih. Emang aku siapa ngelarang-larang adek orang? Haha.

"Tuuh adek dimarahin kak Dira. Hahaha..." gelak Ochi.

Aku pun ikut geli. Buru-buru kujelaskan maksudku. Kalau Fadel beneran ada perlu dan harus pulang ya aku tak akan melarang. Tapi kalau cuma pingin nonton TV atau merasa ga enak, kutegaskan bahwa aku justru merasa lega kalau ada cowok yang ikut menginap. Ya, mau tak mau aku jadi sedikit menyinggung sekilas tragedi percobaan perkosaan yang kualami tadi dengan muka serius. Fadel tampak terperanjat dan menatap kakaknya. Ochi cuman mengangguk-angguk mengkonfirmasi ceritaku. Agaknya Ochi tidak cerita sebelumnya pada Fadel mengenai keperluannya mendadak minta diantar ke rumahku malam-malam begini.

Fadel kemudian menatapku dan menggaruk kepalanya lagi. "Maaf ya... aku gak tau kalo ada kejadian begitu," ucapnya pelan.

"Hihi... kok minta maaf segala. Jadi, nginap sini yaaa..."

“Ya deh, kalo nggak ngerepotin sih..."

"Nggaaak" tegasku. Fadel manggut-manggut tanpa berkata apa-apa lagi.

Sejenak aku juga jadi terdiam. Tiba-tiba ada perasaan canggung dan bingung mau ngomong apa. Kehabisan bahan begitu saja. Kulihat tampaknya Ochi juga sama. Pandangannya berputar mengitari kamarku. Seperti mencari-cari sesuatu unik yang bisa dijadikan bahan pembicaraan. Tangannya lalu usil memilin-milin dan menarik pelan-pelan ujung selimutku. Aku merasakan selimutku sedikit demi sedikit melorot dari dadaku. Reflek kupegangi dan kutarik ujung selimutku dari tangannya.

"Chi" Protesku. Ochi malah terkikik dan balas menarik dengan lebih keras. Walhasil peganganku yang terlepas dan selimutku sukses melorot sampai pinggangku.

"Kyaahh... Ochi!" Tanganku reflek menutup dada telanjangku. Gelagapan antara menutup dada atau meraih kembali selimut itu. Tapi Ochi kembali menarik selimut itu. "Aahhh Ochiii!" Aku berusaha mempertahankan selimutku yang sudah tertarik sampai lutut. Dua tangan kini kugunakan sehingga dadaku jadi terbuka dan mengayun bebas di depan mata Fadel. Kurapatkan dan kumiringkan pahaku. Satu upaya menyembunyikan ketelanjangan selangkanganku yang mungkin malah terlihat seksi di mata yang melihat. Wajahku memerah bak kepiting rebus, dan begitu juga kulihat si Fadel. Tapi toh dia tidak mengalihkan pandangan matanya sama sekali.

"Hihihi... Malu malu amat kamu Ra!"

"Dingiin!" Alasanku.

"Matiin ACnya..." Ucap Ochi sekenanya. Tangannya tak lagi menarik selimutku sehingga aku bisa menariknya dan kembali kudekap menutupi dadaku. Meski aku tidak ambil pusing untuk merapikan selimut yang jadi kusut itu. Sebagian dadaku tetap terekspos di depan kakak beradik itu, bahkan puttingkupun masih mengintip. Aku tidak kesal, bahkan tertawa-tawa. Beneran usil Ochi ini.

"Jadi kamu tu telanjang kayak gini sejak aku antar pulang tadi?" Tanya Ochi penasaran.

"Iyaa... pokoknya rumah ini zona bebas baju. Begitu masuk pintu wajib lepas semuanya... Haha." Jawabku tersipu. Aku melirik Fadel terus yang memandangiku tanpa risih, meski wajahnya masih memerah. Dengan genit kujulurkan lidahku padanya. Dia nyengir.

"Berarti kakak melanggar dong... hehe" Sindir Fadel melirik Ochi.

"Yee, maunya kamu itu mah… Pengennya kakak telanjang terus,” sahut Ochi. “Emang gitu ya Ra peraturan di rumah ini? Harus lepas baju ya? Maaf deh aku nggak tau peraturannya, hihihi." Sambil mengerling ke Fadel, perlahan Ochi melepas kerudungnya, lalu melemparnya ke muka adeknya itu sambil tertawa.

"Hahaha... Itu aturan buat aku sendiri sih..." Jelasku.

"Ooh gitu... Syukurlah. Berarti tamu boleh pake baju ya? " Kak Ochi yang barusan berlagak melolosi kancing gamisnya kini mengancingkannya kembali sambil senyum-senyum melirik Fadel.

"Mmm, tapi kalo mau dilepas juga boleh kok Chi..." Ucapku yang malah jadi gemas dibuatnya.

"Haha... aku nurut tuan rumah aja deh gimana maunya," kerling Ochi. Aku tak menjawab, cuma senyum-senyum sambil memandangi wajah Ochi. Sungguh cantik Ochi ini. Aku yang sama-sama cewek aja sangat betah dan enjoy memandanginya. Kuamati gamisnya yang longgar tapi tidak bisa menyembunyikan indah lekuk tubuhnya.

"Lho kok malah senyum senyum sambil ngeliatin aku sih? Ada yang salah ya dengan pakaianku?"

"Iyaa... ada yang salah..."

"Salahnya apa, cakep gini kok.. Bagus kan gamisku? pesan khusus di butik lho."

"Bagusan dalemnya kak... hehe." timpal Fadel.

"Wek... Maunya kamu tu..."

"Lho iyaa... salahnya tu pakaian dipakai... Jadi nutupin badan kakak deh" kata Fadel lagi.

"Fungsi pakaian kan emang buat nutupin badan dek" balas Ochi.

Aku tertawa melihat kakak berdua itu saling berargumen. "Udah buka aja cepetan Chi" Ujarku. "Hukum harus ditegakkan, di area ini baju dan segala macam pakaian itu terlarang!"

"Yee, katanya tadi peraturan gak berlaku buat tamu..."

"Sekarang baru aja diberlakukan! Haha"

“Duh seenaknya aja sih bikin peraturan... Berlaku bagi adek gue nggak?"

"Ntar dia juga buka baju sendiri. Hihi..." Aku mengerling pada Fadel yang hanya meringis saja. Entah apa yang dipikirkannya. Meskipun sampai sekarang aku masih sok menyembunyikan tubuhku di balik selimut yang sudah kusut juga, tapi entah apa yang akan terjadi nanti... Aku yakin cepat atau lama sesuatu yang cabul akan terjadi di kamar ini.

"Jadiii.... Aku buka nih?"

"Buka!" Seruku dan Fadel hampir bersamaan. Spontan kami tertawa.

"Kamu main api nih Ra... Gak tau lho nanti apa yang bakal dilakuin Fadel... Kamu belum tau sih adekku ini monster peju lho!"

“Dan kakak ratu pelahap peju…” Balas Fadel.

“Iyaa deh… Makasih ya monsterku, dah menuhin kebutuhanku. Puas kamu dek!?” Perlahan Ochi membuka juga gamisnya. Meski longgar, tapi di dalamnya Ochi tidak mengenakan mihnah, jadi begitu gamisnya dilolosi dari tubuhnya, tinggallah dia hanya mengenakan dalaman yang sangat seksi. Bra dan celana dalam imut warna putih. Serasi sekali dengan kulitnya.

Aku dan Fadel sama-sama menahan napas. Darahku berdesir. Ochi betul-betul seksi. Ternyata bisa juga ya aku punya ketertarikan seksual pada sesama cewek. Tapi kupikir ini sama sekali bukan birahi sih. Cuma sekedar senang melihat sesuatu yang indah.

"Udah ya?"

"Aaa.... Buka semua dong Chi...!" Tuntutku untung-untungan.

"Ya ampunn Ra, aku jauh-jauh kesini suruh nemenin kok malah ditelanjangin?"

"Ya kan yang ditemenin telanjang juga. Nemenin telanjang dong, hihi"

"Nggaa aah... Gini aja." Sahut Ochi bersungut-sungut. Duh imutnya. Hihi, aku jadi makin menikmati daya tarik Ochi ini.

“Aa… Fadel, Kakakmu bandel tuh… Kita telanjangin yuk!” Seruku gemas. Aku bangkit memburu Ochi. Tak kupedulikan selimutku tersingkap.

“Ayo!” Fadel tanggap dan dengan sigap memegangi kakaknya.

“Hahaha… Jangaann… Kyaah!” Ochi tertawa-tawa, mempertahankan diri dan berontak sekadarnya. “Adeeekk… Jangan tarik bra kakak, nanti putus… Ahhh…!”

“Biarin!”

“Pelorotin CDnya!” seruku.

“Aduhhh… Adeek… Putus kamu ganti lho! Mahal tauk!”

“Makanya nurut Chi… Hihi!”

“Diraaa”

Tidak sulit melucuti sisa pakaian Ochi yang tinggal 2 helai itu. Apalagi Ochi tidak benar-benar serius mempertahankan dirinya. "Hahahah… Yeayyy... Ochiii... So seksi! Cantik banget!" Seruku girang setelah Ochi polos tanpa selembar benang pun yang menempel di tubuhnya. Semua pakaiannya kuambil dan kulempar begitu saja ke kolong ranjangku.

“Diraa... sembarangan banget sih kamuu…” Protes Ochi sambil mendekap tubuh telanjangnya.

“Semua pakaian harus diamankan. Hehehe… Ochii, sumpah kamu cantik banget! Pantesan adekmu ga nahan.”

"Iiih kamu ini, kamu kan cewek juga?? Jangan-jangan..." Ochi tambah berlagak erat mendekap tubuh dan merapatkan kakinya.

"Haha, iya nih aku suka banget liatin kamu, cantik sih... tapi jangan khawatir, aku masih normal kok, haha” jelasku. Kak Ochi semyum-senyum mendengarnya.

"Dingin Ra..."

Haha, memang sih. Aku aja sudah beringsut masuk selimut lagi. "Siniii, masuk selimut..." Ajakku. Tanpa disuruh dua kali Ochi langsung masuk selimutku yang memang lebar banget. Di balik selimut tubuh kami bertemu. Halus dan hangat sekali tubuh Ochi kurasakan. Kulit kami yang bergesekan menimbulkan sensasi asyik. Dengan gemas kami saling menyentuh. “Hihihi…” Berdua kami cekikikan sendiri tak mempedulikan Fadel.

Sesaat kemudian tubuh kami sudah sempurna tersembunyi di balik selimut yang kami dekap erat. Tinggal kepala kami saja yang muncul di luar selimut. Sambil masih cekikikan kami beralih melihat Fadel yang masih duduk terdiam di hadapan kami. Wajahnya pias. Hehe, pasti campur aduk perasaannya melihat kami yang baru sekejap lalu telanjang bulat di depannya, tapi kini sudah tersembunyi rapat di balik selimut.

“Hihi, apa sih dek ngeliatin kami aja…” Ujarku sambil memasang wajah imut.

“Mau ikut masuk dek? Hihi” goda Ochi.

“Maaf cuma cukup untuk dua penumpang. Hehehe…” sambungku.

“Kalian ini…” Ucap Fadel gemas. Tangannya tak kuasa untuk tidak meremas selangkangannya meski di depan kami.

Ochi menjulurkan kakinya keluar dari selimut. Dengan lihai jari-jari kakinya membelai dan menari-nari di atas selangkangan adiknya itu. “Sudah cenut-cenut aja ya dek?”

“Aahh… Sudah dari tadi kak…” Jawab Fadel jujur sambil mendesah, tangannya menyingkap dan mengelus betis Ochi.

“Hehe, berarti cenut-cenut liat Dira ya?” Tanpa menjawab, Fadel hanya melirikku dan meringis. Kupasang wajah imut lalu kujulurkan lidah menggodanya.

“Kasihan tau junior kamu nih… Udah sanaa… Katanya mau nonton TV?” Usir Ochi.

“Aah iya. Hehe…”

“Ih berlagak lupa”

Duh, gara-gara Ochi bilang lupa, aku jadi teringat kalau lupa belum nawarin mereka minum. Tuan rumah macam apa aku ini >,<

"Aah iyaaa! Kalian mau minum apa? Maaf lupa nawarin... Duh ga sopan banget aku inih..."

"Haha, iya tuh kamu, tamu bukannya dibikinin minum malah ditelanjangi" Tukas Ochi menarik kakinya kembali masuk selimut. Aku sendiri malah melompat keluar dari selimut dan dengan cuek berlari telanjang ke arah dapur.

"Susu ya Chi? Fadel mau kopi?" Teriakku berinisiatif menawarkan.

"Terseraah... Yang penting hangat ya..." Suara Ochi menjawab dari kamar.

"Siapp!"

Sejurus kemudian kulihat Fadel melangkah keluar kamar. “Kamu kalau mau nonton tv nonton aja” ujarku. Dapurku bergaya modern, dengan ruang terbuka dan meja bar di tengah, sehingga orang yang bekerja di dapur bisa berhadap-hadapan dan berkomunikasi dengan siapapun yang ada di rumah.

“Eh, i..iya kak” jawab Fadel yang kemudian menuju ruang tengah setelah cukup lama memperhatikan tubuh telanjangku. Dari dapur ini aku juga bisa melihat ruang tengah tempat menonton televisi. Kuamati sosok Fadel yang duduk membelakangi dapur, menghadap TV. Aku berasumsi pemandangan kakaknya telanjang sambil bekerja di dapur sudah biasa dia lihat. Tapi kini dia mendapati pemandangan yang sama berwujud sosok lain yang tak kalah cantiknya. Hehe, iya dong... Kurasa aku tak kalah cantik dari Ochi. Dih, jadi memuji diri sendiri aku ini.

Kembali ke urusanku di dapur, karena aku benar-benar lupa dan nggak kepikiran tadi, aku jadi tak ada persiapan sama sekali. Walhasil agak lama aku nguplek di dapur. Mulai dari merebus air, sampai mencuci dulu. Haha, Ya... bahkan mug pun masih kotor tak ada yang bersih. Parah banget deh gue malesnya belakangan ini.

Saat aku menengok ke arah kamar kulihat Ochi sudah berdiri di pintu mengamatiku. Aku meringis, "Maaf Chi... Ga siap, jadi lama... hehehe..."

"Aku ikut bantuin ya"

"Aaa... gak usah," cegahku. Tapi tetap saja Ochi berjalan ke dapur menghampiriku. "Ya ampun Dira, piring-piring gelas kotor numpuk ini sejak kapan nggak kamu cuci?"

"Hehehe... Empat harian kayaknya" Duh malunya… Padahal kemarin malam aku makan dan langsung mencuci piring. Tapi yang kucuci ya cuma piring yang habis kugunakan aja. Sementara yang kupakai di hari-hari sebelumnya kubiarkan. Dan aku barusan juga cuma mencuci 2 buah mug yang hendak digunakan. Ketahuan deh cucian lain yang masih menumpuk. >,<

"Kamu nggak ada pembantu?"

"Nggak ada... Aa jangan dong, kamu temani Fadel nonton tv aja sana. Aduhh Ochi..." Cegahku melihatnya yang sudah langsung menyalakan wastafel aja.

"Ochi!!" Protesku melihat temanku itu tak bergeming.

"Kalo nggak boleh bantu-bantu aku pulang nih!?" Ancamnya merengut.

"Yaah Ochiii" Pasrah deh aku membiarkan si Ochi membantuku di dapur. Kalau ada orang lain yang melihat kami, entah apa yang akan dipikirkannya. Dua orang cewek cantik dan seksi sibuk beraktivitas di dapur dalam keadaan telanjang bulat. Kalau difoto dan disebar di kalangan cowok mungkin captionnya "istri-istri idaman”, hihi. Padahal yang idaman cuma si Ochi doang... Aku mah pemalas, hihi.

Dan ternyata Fadel berpikiran sama denganku. Tau-tau kudapati dia sudah berdiri di depan dapur dan lagi asik mengambil gambar kami dengan kamera HPnya.

"Eheemm... Katanya nonton bola?" Sindirku yang tidak mempermasalahkan fotoku diambil tanpa izin olehnya. Fadel tersenyum saja.

"Adeek... ngapain sih kamu? Eh, pakai HP kakak dong..." Haha. Kukira Ochi mau protes, ternyata malah request.

Sejurus kemudian aku dan Ochi malah sibuk berpose untuk difoto. Aku emang suka berfoto dan difotoin sih, hihi.

"Kalian kerja aja... Biar kucandid aktivitas dapur..." usul Fadel.

"Ga mau aah.. Ntar jelek..." jawab Ochi.

"Ga bakalan jelek deh. Kakak cantik kok..."

"Kakak yang mana nih?"

"Dua-duanya!"

"Duh pinter banget kamu ngegombal ya... Pasti ada maunya tuh, hihihi" godaku. "Ya udah... difoto yang bagus ya..."

Bagaimanapun juga kami kemudian memang kembali fokus pada pekerjaan kami di dapur sambil bugil, dan sesi foto dadakan itu menjadi candid sesuai yang dimaui Fadel. Sambil membuat minum aku tak bisa menahan diri untuk sekali-kali melirik Fadel. Beberapa kali mata kami bertemu dan berbalas senyum. Dalam hati aku jadi 'bersyukur' Ochi mengajak adiknya itu. Dalam satu hari ini naluri eksibku tersalurkan untuk kesekian kalinya. Bedanya kali ini berasa lebih 'manis'. Susah kugambarkan bagaimana perbedaan perasaan senang dari tiap aksi eksib yang kulakukan. Nyatanya memang sensasi yang berbeda itu kurasakan.

"Ini kopi kamu ya dek... Kamu mau camilan?" Aku meletakkan mug berisi kopi panas yang baru saja kuseduh di atas meja bar. Posisiku kini berhadap-hadapan dengan Fadel. Duh, meski udah sering telanjang, tapi kalau ada cowok yang memperhatikan rasanya tetap saja malu.

"Hihihi... Wajah kamu masih aja memerah Ra... imut banget kamu" Puji Ochi tiba-tiba. Ugh, dibilang begitu aku malah tambah berdebar, darahku berdesir membuat wajahku makin bersemu merah.

"Ya ampun malah tambah merah tuh... Diraa... Hihihi..."

"Ish, Ochiiii..." gumamku manja. Begini rasanya menyembunyikan rasa malu, lalu ketahuan, jadi tambah dobel rasa malunya. Rasa malu yang menyenangkan tentunya. Sungguh tak karuan perasaanku dibuatnya.

"Wah stok camilanku habis ternyata... Eh iyaa... aku ada pizza... Udah dingin sih... gak apa kan?" Fadel mengangguk. Perutku sendiri sudah sangat super lapar karna pizza yang kupesan tadi ini belum segigit pun kumakan.

Fadel mengambil 3 potong pizza dan kembali melanjutkan nonton TV. Sedangkan aku mengajak Ochi ke kamar lagi dengan membawa sisa potongan pizza.

"Haha, makan pizza, malam malam, makannya di atas kasur lagi... kalo Mama tahu pasti diomelin nih..." di atas kasur aku memulai obrolan.

"Haha, bener banget, mamaku juga pasti samaan ngomel kalau tau... udah gitu telanjang-telanjangan lagi..."

"Hihihi..." kami tertawa bersamaan.

"Emang kamu suka makan malam-malam ya? Gak takut gemuk?" tanyaku padanya.

"Kalo soal makan aku kurang kontrol diri... Sembarangan aja, tapi untungnya makan sebanyak apapun aku susah gemuk tuh... Padahal pingin juga sih naikin sekilo dua kilo... biar gak kurus ceking gini"

"Aah irinya... Aku kalo lupa diri ngemil langsung gendut deh... Harus sering-sering diet. Makan malam-malam kayak gini hampir gak pernah aku... Besok harus ngegym nih buat menebus dosa," keluhku. "Habisnya aku belum makan sedari pulang kampus tadi... Tadi langsung tidur sampai sore." Lanjutku memberi penjelasan tanpa diminta. "Eh, tapi badanmu sudah bagus banget deh Chi.. ga ceking kok, udah ideal..." Pujiku. "Aah Ochi udah abis 2 potong ajaa..." Tanpa sadar aku terus nyerocos.

"Hahaha... Baru tau ya kalo aku jago makan? Ni pizza bisa abis nih kalo aku sendirian..." Ujar Ochi gak ada jaim-jaimnya sama sekali. Aku suka! ^o^

"Ya ampunn perut apa kantong ajaib tuh? Makin iri... Asiknya bisa makan banyak tanpa khawatir jadi gemuk. Anugerah banget tuh!” Ochi tertawa saja mendengar ucapanku.

Kami kemudian sama-sama diam beberapa saat.

"Jadi… Gimana tadi?" Tanya Ochi.

"Gimana apanya?"

"Kamuuu tadi nangis! Katanya diperkosa lagi?"

"Hahaha... iya," jawabku malah tertawa.

"Tuu kan kamu bohong yaa?"

"Nggaak kok, serius... hampir dibunuh juga aku tadi..." Jelasku.

"Seriuss kamu Ra? Gak keliatan banget sih..." Selidik Ochi masih ragu.

"Serius Chi, masa aku bercanda kaya gitu... " jawabku. Ochi masih memandangiku heran. Mungkin harusnya aku pasang wajah sedih, nangis, kusut, memanggil polisi, atau yang semacamnya. Aku sendiri heran juga, begitu mudahnya suasana hatiku berubah. “Aku cuma lagi senang aja sekarang, soalnya ada kamu Chi di sini” sambungku.

"Ayo cerita! Penasaran aku!"

"Eeh Chi, selfie dulu yuk?" Ajakku.

"Halaaah! Ya udah ayo..."

"Hihihi...” Kami berdua tertawa.

“Pake HPku aja,” usulku.

“Buat pamer ke grup ya?"

Ckrek! Foto 2 cewek cantik telanjang bulat duduk di atas kasur sambil makan pizza meluncur dan terkirim di grup. Setelahnya kami bersama-sama menunggu komentar.

'Klunting.' Farah yang paling pertama komentar.

Farah : Iiihhh cantik2nyaaa...

Farah : Asik banget.

Alya : Aah telanjang bareng, ati2 lho terjadi sesuatu yang diinginkan. Hihi..

Nana : Haha... dijual laku mahal ni foto. Wkwkwk...

Farah : Eh tau gini tadi monyet2 gue kirim ke rumah Dira aja yaa... Ada 2 mangsa empuk di sono.

Ochi : Haha, jangan... kami masih perawan yaa…

Farah : Ah iyaa... Dira sayang, gimana keadaan kamu?

Alya : Kayaknya sih dari fotonya udah hepi2 ya sama Ochi?

Farah : Tapi cerita dong?

Ochi : Aku sendiri belum diceritain tuh

Ochi : Datang2 malah disuruh telanjang.

Ochi melirik ke arahku.

“Hahaha, iya Chi, nanti aku cerita” Ucapku. Ochi lalu mengetik di grup.

Ochi : Ni abis ini mau cerita.. tapi share di grupnya besok aja ya... ni mau sekalian siap siap bobo...

Farah : Haha Ya udah see u all tommorow yaa... yang penting gue tau Dira udah gapapa...

Aku dan Ochi menghela napas. Sama-sama menyudahi obrolan di grup.

Masih ada sisa sepotong pizza tergeletak di kotaknya. Tapi kayaknya Ochi tak berniat menghabiskannya. Aku, apa lagi. Ochi menyingkirkan kotak pizza dan mug susu kami yang sudah kosong. Aku membersihkan selimut dari remah-remah yang mungkin berjatuhan.

“Jadi, tadi tuh mati lampu… Nah, aku kan penakut orangnya…” Ucapku memulai cerita. Aku menceritakan detail aksi mandiku di teras rumah juga. Senang melihat ekspresi Ochi yang mendengarkannya. Sepanjang aku cerita, dia mendengarkan tanpa banyak memotong. Tadinya aku tidak ingin cerita sampai bagian Eko. Tapi karna Ochi menanyakan foto selfieku yang mewek sambil berpeju ria tadi, aku jadi menceritakannya juga. Malah jadi agak panjang di bagian Eko, karna tanggapan pertanyaan dari Ochi menuntut aku harus kilas balik menjelaskan siapa itu Eko. Tentu kuceritakan garis besarnya saja. Tapi cerita hubunganku dengan Eko sukses membuat Ochi terperangah.

“Harus dilaporin tuh orang yang merkosa kamu… Udah kriminal itu!”

“Iya sih”

“Kok iya sih? Iya dong! Di aplikasi pasti tercatat kan tuh, nomor teleponnya, namanya…”

Aku terdiam. Ochi tampak makin gusar. “Sini aku lihat aplikasinya…” Pintanya kemudian.

“Ga usah Chi… Udah malam juga, besok aja!” Tolakku tegas. “Aku terus terang gak kepikiran sampai ngelapor…” Terangku. “Aku justru…” Kalimatku terpotong sejenak. Aku memikirkan kata-kata untuk diucapkan. “Tadi siang di mobil kan kamu udah panjang lebar bilang Chi, bahwa yang kayak gini resiko seorang eksibisionis” Ucapku. Kulirik wajah Ochi, ingin melihat reaksinya. Ternyata dia menunggu aku menyelesaikan pernyataan.

“Aksiku tadi memang beresiko banget kan? Terus terang pas mau diperkosa tadi, aku justru merasa bersalah kenapa aku nggak bisa menerimanya” sambungku.

“Ya ampun Dira…” Ochi tampak terperangah.

“Kan kamu yang bilang…”

“Iya, aku bilang gitu cuman teori doang. Aku sendiri kan belum pernah ngalamin…”

“Jadi?”

“Jadi… Ya… Tapi aku serius juga sih… Maksudnya, kalo kejadian ya… Pasrah. Duh, gimana ya bilanginnya…Kalo kamu pasrah oke. Tapi kan nggak? Kamu menolak, berontak… Trus dicekik… Diancam mau dibunuh” Ochi menghela napas. Kalimatnya terdengar belum selesai. Tapi dia kemudian terdiam.

“Nah itu, berarti salah aku kan? Harusnya aku terima” Ucapku lirih.

"Ya bukan berarti gitu juga dong sayang"

"Trus gimana?"

Ochi menghela napas lagi, lalu menggaruk-garuk kepalanya. "Duh, maaf ya Dira... Aku kok sotoy banget sok menggurui..."

"Lho nggak kok. Aku menghargai pendapat kamu kok Chi"

"Aku belum pernah ngalamin kayak kamu Dira. Kamu yang paling ngerti perasaan kamu... Sori ya..." Ucapnya tersenyum. "Aku cuma kesal aja tadi... kepikiran, gak seharusnya pemerkosa itu berjalan bebas tanpa nerima ganjaran... Andai aku ya… Kalaupun aku diperkosa pasrah, nerima, bahkan mungkin menikmati... Tetep aja abis itu yang merkosa aku kulaporin," tukas Ochi berandai-andai.

"Ohh... trus kalau si pemerkosa membela diri, bilang suka sama suka gimana? Trus ada rekaman videonya gitu yang nunjukin kita menikmati gimana? Kamu mendesah-desah keenakan, bahkan ikut goyang pinggul..." Timpalku gemas berfantasi, sambil menggoyang-goyangkan pinggulku memperagakan apa yang kubayangkan.

"Haha.. Yaa aku bilang aja ke hakim, aku menikmati seksnya, tapi aku nggak suka sama orangnya"

"Hahahaha..." Kami tertawa bersamaan lagi.

"Bisa mupeng pengadilan denger kaya gitu" celetukku.

"Hihihi"

"Eh, Dira... Jadi kepikiran, trus pizzanya ini kamu bayar nggak?"

"Ya nggak lah"

"Berarti pizzanya nggak halal dong?"

"Lho, kok nggak halal sih?"

"Lhah iya... Kan nggak kamu bayar"

“Salah dia sendiri kenapa merkosa aku... Jadi pizzanya gak usah dimakan? Mubazir dong... Lagian aku laper” jawabku santai.

“Besok abangnya dihubungin aja, suruh sini, bilang ke dia mau bayar pizaa,” usul Ochi.

“Ish... ntar diperkosa lagi akunya... Lagian aneh. Mana mungkin dia mau datang lagi ke sini. Awkward banget pasti”

“Ya gapapa kalo dia gak mau datang, suruh ikhlasin gitu… Kalo abangnya udah ikhlas kan jadi halal.”

“Hahaha… Kalo abangnya mau datang?”

“Kita panggil satpam, suruh nangkep! Hihihi”

“Ha ha ha ha ha….!” Lagi, kita tertawa geli bersamaan. Senang sekali bisa akrab begini sama Ochi.


Credit to : bramloser

No comments:

Post a Comment