Saturday, September 29, 2018

Dira (Inilah Yang Kumau) Part 7



Suasana di kantin kampus begitu ramai. Mungkin karena bertepatan dengan waktu makan siang sehingga membuat tempat ini jadi penuh sesak. Aku dan teman-temanku beruntung bisa mendapatkan meja. Banyak dari mereka yang ingin makan di sini harus sabar menunggu untuk bisa duduk. Sebagian lagi ada yang putar badan karena tidak tahan menunggu.

Aku sebenarnya kurang suka makan di sini. Apalagi di saat-saat ramai begini. Aku lebih memilih mencari makan di luar lingkungan kampus meskipun sedikit lebih mahal. Namun karena semua teman-temanku ingin makan di sini, akupun jadi ikut mereka. Setidaknya tempat ini tidak terlalu jauh dari ruang kelas perkuliahan selanjutnya.


Cuaca yang panas, orang-orang yang penuh sesak, membuat hawa jadi begitu gerah. Seandainya aku di rumah saat ini mungkin sudah kulepaskan seluruh pakaianku, merasakan nikmatnya bertelanjang bulat tanpa ada yang memprotes. Tapi sekarang aku harus menahannya. Aku tidak mungkin melakukan kegilaan itu di sini. Menunjukkan sedikit auratkupun aku tidak berani. Tidak boleh ada satupun orang yang ku kenal mengetahui kenakalanku. Mereka mungkin tidak menyangka aku memiliki sisi binal. Mereka tahunya aku adalah gadis baik-baik yang selalu menjaga aurat dan kesopanan dalam berperilaku. Memang, kalau di luar rumah aku memang demikian, tapi tidak jika sedang sendirian rumah. Aku bahkan tidak lagi hanya sekedar telanjang sendirian, tapi juga mempertontonkan ketelanjanganku pada laki-laki. Sudah banyak laki-laki yang bukan muhrimku melihat aurat-auratku yang tidak sepantasnya dipertontonkan. Baik hanya satu, sampai banyak laki-laki sekaligus.

Aku tidak tahu kenapa aku bisa jadi senakal ini. Ku pikir jilbab yang ku kenakan bisa menahanku. Namun ternyata tidak, semakin ditahan justru rasanya semakin ingin dilepaskan. Memang, jilbab yang selalu ku kenakan sering mengingatkanku kalau perbuatanku ini salah. Tapi semakin aku memikirkan kalau perbuatanku ini salah, aku justru semakin horni. Bahkan hingga menggunakan jilbab tersebut untuk menambah kesan erotis ketika pamer aurat. Seperti kejadian dimana aku menerima kurir dengan hanya menggunakan kain jilbab untuk menutupi tubuh telanjangku seadanya.

Rasa sesal yang dulu sering datang karena seringnya aku mempertontonkan auratku, kini semakin lama semakin aku lupakan. Aku suka mendengar pujian mereka akan keindahan tubuhku. Sensasi memakai baju asal-asalan di depan cowok, hingga sampai telanjang bulat di depan mereka betul-betul membuatku ketagihan untuk terus mengulanginya. Bahkan kelakuanku semakin lama semakin gila dan nekat saja. Kelakuanku semakin lama semakin bertentangan dengan yang diajarkan orangtuaku. Rasanya campur aduk antara malu, horni dan takut. Ngeri juga kalau ada yang nekat memperkosaku. Jangan sampai aku diperkosa gara-gara kelakuanku sendiri. Bisa jantungan papaku nanti dengar kabar anak gadisnya diperkosa. >.<

“Hey, kamu diam saja dari tadi? Mikirin apa?” tanya salah satu temanku.

“Tidak ada,” jawabku tersenyum. Tidak mungkin kujawab kalau aku memikirkan diriku diperkosa. Cewek berjilbab kok memikirkan hal begituan sih, hahaha. Aku lalu melanjutkan makanku. Sambil makan, aku mencoba menyimak kembali apa yang sedang teman-temanku bicarakan. Mereka sedang sibuk membicarakan rencana liburan di akhir pekan ini. Mereka sudah mempunyai rencana sendiri-sendiri. Akupun demikian. Aku juga sudah punya liburan. Libur panjang akhir pekan ini aku ingin pulang ke rumah orangtuaku.

~~

Sore hari sepulah dari kuliah, aku langsung sibuk memilih pakaian yang akan ku masukkan ke dalam koper untuk ku bawa besok. Aku sebenarnya tidak terlalu sehat. Aku lagi kena flu. Agak meriang juga. Sepertinya akibat karena aku terlalu banyak telanjang kemaren, hehehe. Aku ragu apa aku bisa nyetir mobil sejauh itu. Lumayan melelahkan kalau nyetir sendirian. Sekitar 4 jam lamanya perjalanan dari sini ke tempat orangtuaku. Tapi daripada aku cuma diam di rumah mending aku paksakan pergi. Temanku Shinta ngajak liburannya juga baru seminggu lagi, bukan akhir pekan ini.

Sewaktu memilih pakaian yang ingin ku bawa, aku menemukan pakaian-pakaian yang tadi malam aku kenakan di hadapan Eko dan teman-temannya. Aku jadi senyum-senyum sendiri mengenang kejadian semalam. Betul-betul menegangkan. Tentu saja menegangkan, aku yang kesehariannya berjilbab malah berpakaian asal-asalan, telanjang, bahkan hingga membiarkan tubuh telanjangku dipeluk dan digerepe bergiliran oleh para abg itu. Untungnya hanya sebatas pegang-pegang. Kalau aku sampai diapa-apakan mereka gimana coba. Tapi aku menikmati suasana menegangkan itu. Meskipun kejadian semalam berakhir dengan kurang nyaman. Aku tidak tahu kenapa aku bisa semarah itu semalam. Aku kesal banget mendengar Eko yang sudah punya pacar, apalagi mendengar dia sampai ML dengan ceweknya. Aku juga tidak tahu apakah aku marah karena aku memang peduli padanya, atau karena akunya yang tidak suka dia berbuat itu sama cewek lain.

“Ish, ini baju Eko kok ada di lemariku sih?” Ku ambil baju tersebut dan ku sisihkan. Setelah ku ingat-ingat bagaimana bisa baju bocah itu bisa ada di lemariku aku baru ingat kalau aku dulu pernah mencucikan bajunya. Ku periksa lagi tumpukan bajuku kalau-kalau ada bajunya yang lain. Untungnya hanya satu itu saja. Ku pikir tadi celana dalamnya juga bakalan nyelip di antara celana dalamku.

“Dasar Eko mesum, kecil-kecil udah ML,” gumamku sambil meletakkan bajuku yang terakhir ke dalam koper, lalu menutup koper tersebut. Semua sudah beres, pakaian yang ingin ku bawa sudah dipacking semua. Tinggal berangkat saja besok.

Aku kemudian mandi. Seperti biasa, setelah mandi aku memutuskan untuk tetap telanjang bulat. Gadis yang kesehariannya berjilbab kembali keluyuran di dalam rumah tanpa mengenakan sehelai pakaianpun. Untungnya hanya foto orangtuaku yang ada di sini yang jadi saksi bisu kelakuanku, kalau mereka melihat langsung bagaimana kelakuan anak gadis mereka ini aku pasti kena tampar. >.<

Saat sedang mencuci piring, tiba-tiba handphoneku berbunyi. Ternyata dari Dodi, salah satu penggemarku yang beruntung ku izinkan mengambil foto-foto tidak senonoh diriku. Sudah lama juga dia tidak ada kabarnya. Tentu saja alasan dia menelponku kali ini masih sama seperti biasanya.

“Aku pikir kamu sudah punya cewek lain...” ucapku mengingat cukup lamanya dia tidak menghubungiku. Sekarang, tiba-tiba berkata kangen mengambil foto-fotoku lagi.

“Ya nggak lah, cuma kamu kok satu-satunya, aku juga maunya cuma kamu, soalnya dari semua cewek yang ku kenal cuma kamu yang paling cantik, hehe” balasnya malah menggombal. Tapi ku rasa tidak cuma itu, sepertinya dari semua cewek yang dikenalnya hanya akulah yang mau difoto demikian. -,-

“Hahaha, terus? Kapan?” tanyaku kemudian. Kok justru aku yang antusias yah.

“Maunya sih sekarang, bisa?”

“Heh... Sekarang?” Aku tentu saja keberatan. Aku ingin istirahat. Soalnya besok kan aku mau pergi.

“Iya, sekarang, sore ini” tegasnya.

“Hmm... Kayaknya gak bisa deh, maaf yah” tolakku halus. Kalau bukan karena besok mau pergi mungkin akan kupertimbangkan. Lagian dia pasti gak akan sebentar. Pasti nanti akan sampai malam juga. Pasti sangat melelahkan.

“Kamu sibuk ya?” tanyanya kemudian.

“Nggak sih, tapi aku pengen istirahat aja sekarang, soalnya besok aku mau ke rumah orangtuaku,” jelasku. Lalu kusebut kota dimana orangtuaku tinggal.

“Ohh... kamu perginya sendiri, Ra?”

“Iya”

“Jauh juga lho itu, aku yang antarin mau nggak?”

“Ngantarin?”

“Iya, aku antarin, kalau perlu aku jemput juga”

“Baik banget... terus sebagai gantinya?” Ku yakin dia minta imbalan. Tidak mungkin dia mau antar jemput aku begitu saja.

“Ya itu tadi, aku mau ambil foto-foto kamu” jawabnya.

“Ngotot banget sih? Kangen banget ya?”

“Iya, hehehe... kalau kamu gak mau sekarang, besok saja gimana?”

“Kok malah besok?” tanyaku bingung.

“Iya, di perjalanan besok saja aku sekalian ambil foto-foto kamu”

“Ohh...”

“ Jadi gimana Ra? Mau kan kalau besok? Sekalian ku antar,” tanyanya lagi ngotot.

“Hmmm...” Aku pikir tawarannya untuk mau mengantar jemput aku ada bagusnya. Tidak perlu pakai mobilku, tidak perlu keluar duit bensin, dan yang paling penting tidak perlu nyetir sendirian. Soalnya aku lagi kurang sehat. Takut juga kalau kenapa-kenapa di jalan. Kalau dia mau antar jemput tentunya itu membantu banget, walaupun aku harus memuaskan fantasinya lagi dengan mau difoto tak senonoh. Tapi seperti biasa, sebagian diriku kembali mengharuskanku agar berpikir lagi. Aku seharusnya tidak semudah itu mempertontonkan aurat, apalagi sampai membiarkan foto-foto diriku yang buka-buka aurat begitu diambil. Perbuatanku ini seharusnya tidak pantas dilakukan oleh gadis dari keluarga baik-baik sepertiku. Kalau suatu saat foto-fotoku itu tersebar gimana coba, bisa malu besar keluargaku.

“Hmm... Lihat besok deh, kalau fluku belum sembuh aku mau kamu antarin, kalau udah sembuh ya gak jadi,” kataku. Aku sebenarnya berharap agar besok masih kurang sehat biar bisa diantarin.

“Nah gitu dong... hehe, makasih Dira cantik...” ucapnya terdengar girang. Padahal aku tidak bilang mengiyakan. “Ya udah, sembuh gak sembuh besok pagi aku tetap ke rumah kamu, anggap aja aku jengukin kamu, hehe”

“Hahaha, terserah deh” Teleponnyapun aku tutup.

Aku kembali melanjutkan acara nyuci piring yang belum selesai. Padahal aku tinggal sendiri, tapi piring kotor kok bisa numpuk gini ya. Eh iya, aku baru ingat kalau tadi malam rumahku diramaikan oleh gerombolan bocah SMP itu. Biasanya sih memang mereka yang mencuci piring, tapi kali ini terpaksa aku yang melakukannya. Seharusnya mereka ku suruh cuci piring dan beres-beres rumah dulu ya sebelum ku usir. >.<

Setelah puas beres-beres rumah sambil telanjang bulat, aku kemudian berpakaian. Aku mau pergi ke mini market. Membeli jajanan untuk di perjalanan besok. Gak butuh waktu lama, aku yang tadinya bugil kini sudah berpakaian lengkap dengan jilbab. Kontras banget pemandangannya dengan yang tadi. Tentunya aku juga memakai dalaman, aku tidak mau cari masalah.

Keasikan ambil ini ambil itu, ternyata belanjaanku sampai 100 ribu juga. Boros banget yak aku. Setelah membayar di kasir aku langsung pulang. Langit sudah semakin merah. Matahari sudah hampir tenggelam. Rumahku rasanya sepi sekali. Aku biasanya tidak sendirian di waktu seperti ini. Biasanya selalu ada yang menemani. Ya, sore ini Eko tidak datang.

~~~

~~~

Besoknya Dodi datang ke rumahku pagi-pagi sekali. Aku bahkan belum mandi. Sepertinya dia udah gak sabaran banget.

“Cepat amat datangnya...” ucapku sambil mengucek-ucek mata. Bukan hanya belum mandi, aku juga baru bangun. Kalau saja Dodi tidak datang, mungkin baru jam sembilan nanti aku bangun. Aku sebenarnya sudah bangun sih subuh tadi, tapi kemudian tidur lagi. Jika hari libur aku memang biasanya nyambung lagi tidurnya, hihihi.

Aku persilahkan Dodi masuk dan duduk. Ku lihat matanya terus menatapku. Sepertinya tergoda dengan kondisiku yang acak-acakan. Saat ini aku memakai baju kaos tanpa ada apa-apa lagi di baliknya dan tanpa bawahan. Pakaian yang lagi-lagi begitu sembrono untuk ku kenakan di depan pria yang bukan muhrimku. Aku bahkan bisa saja tadi menyambutnya tanpa memakai pakaian sama sekali karena tadi aku tidurnya gak pakai baju. Lagian dia sudah pernah melihatku bugil. Namun aku memutuskan untuk tetap memakai sesuatu untuk menutupi tubuh telanjangku biar dia nggak kege-eran. Tapi sebaiknya aku juga memakai celana ya tadi. Lihat saja, matanya terus tertuju ke pahaku. Untungnya vaginaku masih bisa tertutupi oleh baju kaos ini.

“Hayo liat apa?” ucapku sambil meletakkan kedua tangan di depan selangkanganku, berusaha menutupi pandangannya ke area intim tersebut. Tingkahku sepetinya membuatnya makin gemes.

“Duh Dira, bangun tidur masih saja cantiknya gak ketolongan, aku suka lihatnya, cantiknya alami”

“Masih pagi, jangan macam-macam” balasku pura-pura bete, padahal senang banget dipuji dan diperhatikan.

“Hehehe... Kamu masih sakit ya Ra?”

“Iyaaah” Sebenarnya sudah agak mendingan sih dari kemarin, tapi masih agak lemas dan juga masih pilek dikit. Seharusnya aku jangan tidur telanjang yah semalam. >.<

“Duh kasihan... Ya udah, nanti aku yang antarin ya...” ucapnya.

“Huuuu... emang mau kamu gitu kan!?”

“Hehehe, tapi kamu baik-baik aja kan? Udah minum obat? Atau kita perlu pergi ke dokter dulu?” Dodi memberondongku dengan pertanyaan yang sok perhatian.

“Gak usah, udah mendingan kok”

“Oh, oke deh... ini aku sudah bawain sarapan, bubur ayam, kamu suka kan?” katanya lagi.

“Makasiiiih... tau aja lagi lapar hehehe... tapi aku mandi dulu ya...”

“Mau ditemenin?” ucapnya cepat.

“Gak usah, aku berani kok mandi sendiri,” balasku memeletkan lidah.

“Hehe, ya deh... Eh, bentar Ra,” panggil Dodi sebelum aku beranjak. “Foto-foto dikit ya... bagus nih,” sambungnya yang sudah siap membidikku dengan kamera yang sedari tadi menggantung di lehernya.

“Ih, jangaaaan... masa kayak gini difoto sih?”

“Gak apa Ra, cantik kok... ” Dodi mulai menjepret.

Dodi kayaknya tidak mau melewatkan momen sedikitpun. Aku yang masih acak-acakan karena baru bangun tidur ingin dijadikan santapan lensa kameranya juga. Ya sudah lah. Aku turuti keinginannya. Dia terus mengambil gambarku. Aku disuruh memperagakan gaya orang yang baru bangun tidur, seperti menguap, ngucek mata, peregangan dan sebagainya. Katanya tadi hanya foto-foto sedikit, tapi malah keterusan dan lama juga. Tapi aku juga menikmati sih.

“Nggak lanjut adegan mandi kan?” tanyaku.

“Nggak usah, lama-lama di kamar mandi ntar makin menjadi pilek kamu, hehe”

“Huuuuuu... Ya udah aku mandi dulu” Akupun beranjak dari sana dan segera pergi mandi. Aku seharusnya gak mandi pagi-pagi kalau lagi sakit gini, tapi kalau gak mandi rasanya gak enak banget. Setelah mandi aku langsung berpakaian yang benar. Aku tidak ingin mengundang Dodi untuk lanjut mengambil gambarku lagi dengan masih berpakaian asal-asalan. Aku kenakan baju kemeja lengan panjang kotak-kotak dan celana panjang levis hitam. Tentunya tak lupa memakai jilbab seperti biasanya kalau pergi keluar rumah. Baik kemeja dan celana panjangku sebenarnya agak ngetat sih, tapi biar deh.

“Sip Dira, cantik seperti biasa, kamu memang cewek idolaku, sempurna” Dodi kembali memuji penampilanku.

Tanpa berlama-lama, setelah aku serapan, kamipun berangkat. Semoga perjalanan nanti lancar-lancar saja. Sesuai perjanjian, dia ku bolehkan mengambil foto-fotoku di perjalanan. Asalkan nanti aku tetap sampai ke rumah orangtuaku dengan selamat, utuh dan tidak kurang sedikitpun.

**

Di dalam mobil, Dodi berkali-kali mengambil fotoku setiap ada kesempatan. Seperti saat di lampu merah atau saat berhenti mengisi bensin. Iseng banget dianya. Kadang kami berhenti di pinggir jalan kalau ada pemandangan yang keren. Kalau yang ini kebanyakan aku sendiri yang memintanya untuk mengambil fotoku. Dodi sendiri tampaknya masih belum menemukan tempat untuk lebih mengeksplor foto-fotoku. Yang dia mau tentunya bukan sekedar foto-foto begini, melainkan sesi foto yang lebih mengumbar aurat-auratku.

Semakin jauh perjalanan rupanya semakin macet. Sudah hampir tiga jam perjalanan kami masih mentok di sini. Dodi akhirnya memilih keluar dari jalan utama dan mengambil jalan alternatif. Semoga gak tersesat deh, tapi dia tampaknya memang sudah hafal dengan jalan-jalan di sini. Beda banget denganku yang mana jalan-jalan di kota aja masih sering sesat, hehehe.

Pemandangan lewat jalan sini ternyata jauh lebih keren. Aku jadi lebih sering minta berhenti hanya untuk sekedar minta difotoin. Semakin lama, pemandangan yang tersaji memang makin keren, tapi jalanan juga makin sepi. Itu malah membuatku takut. Hutan di kiri kanan dan tidak tampak adanya rumah penduduk. Sepertinya kami masuk jauh ke tempat yang begitu terpencil. Namun Dodi meyakinkanku kalau kami tidak tersesat.

Setelah cukup lama, aku kembali bisa melihat rumah-rumah penduduk. Tapi tetap saja suasananya masih sepi. Aku tidak tahu apakah memang selalu sepi begini atau karena warganya masih sibuk berkerja di ladang. Karena sudah jam makan siang, Dodi langsung mengajakku makan siang. Katanya dia tahu tempat makan yang enak. Kamipun kemudian berhenti di depan sebuah warung makan.

“Kita makan di sini ya... ikan bakarnya enak”

“Iya, boleh aja” aku perhatikan keadaan sekeliling. Tempatnya sederhana banget. Saat kami masuk, beberapa orang di sana melirik ke arah kami. Seakan ingin mengetahui tujuan kami datang ke desa tersebut. Duh, kok malah paranoid gini sih akunya.

Dodi langsung memesan dua ikan bakar dengan nasi, ditambah es teh manis. Orang yang sedang makan di sana sepertinya kenal dengan Dodi karena mereka saling menyapa. Dodi juga terlihat akrab dengan ibu-ibu penjual nasi tersebut. Bahkan dengan anak-anak kecil yang sedang bermain di sana juga akrab.

“Kamu udah sering ke sini?” tanyaku penasaran.

“Lumayan sering juga”

“Oh... ngapain? Foto-foto cewek ya? Hayo ngakuuu” tanyaku tajam sok mengintimidasi.

“Hahaha, nggak lah... Cuma foto-foto pemandangan aja. Kamu kayak detektif aja tanya-tanya terus” jawabnya. “Kan udah aku bilang, aku demennya cuma sama kamu,” tambah Dodi. Aku senyum-senyum saja mendengarnya. Aku senang punya penggemar, apalagi penggemar yang baik kayak dia. Tapi cukup jadi fans aja. Dia gak boleh terlalu kege-eran hingga jadi suka beneran.

“Habis ini kita cari tempat foto-foto ya Ra... sumpah aku udah kangen banget” Dadaku berdebar mendengar ucapannya. Gak jelas kenapa. Aku hanya mengangguk mengiyakan, lalu tersenyum padanya. Seakan ingin mengatakan kalau aku di sini memang untuk difoto olehnya sepuas yang dia mau.

“Aman nggak?” tanyaku. Meskipun aku mau-mau saja difoto buka-bukaan, tapi aku gak mau terjadi hal yang tidak diinginkan. Dibawa ke tempat terpencil begini saja aku sebenarnya sudah takut, apalagi jika nanti harus melepas pakaianku.

“Kamu takut Ra? Ga usah takut... lagian kan bukan kali ini aku ajak kamu foto-foto di luar”

“Iya sih...” Aku memang pernah difoto oleh Dodi dengan suasana pedesaan juga dulu. Tapi tetap saja rasanya deg-degkan. Apalagi desanya terpencil begini. “Kalau ketahuan gimana?” tanyaku lagi.

“Ya jangan sampai ketahuan,” jawab Dodi. Enteng banget jawabannya.

“Dodiiii!”

“Hahaha... Tenang aja, gak bakal ada yang apa-apain kamu kok di sini”

“Mana tahu nanti malah kamu yang apa-apain aku!” balasku.

“Hahaha, pengen banget kalau dibolehin”

“Huuuu...” Dasar dia ini. Ngomong serius malah bercanda. Kesal ih. Akupun mencoba percaya saja dengan yang diucapkannya kalau semua bakal aman-aman saja. Kalau Dodi sih aku percaya kalau dia gak bakal apa-apain aku.

“Pokoknya kamu harus jagain aku dan tanggung jawab kalau ada apa-apa!” seruku.

“Oke, kalau terjadi apa-apa aku bakal ganti rugi deh” jawab Dodi meyakinkanku. Ucapannya cukup mengembalikan rasa percaya diriku. Aku buang jauh-jauh rasa takut itu. Justru aku kini merasa tertantang. Aku malah penasaran sejauh mana aku berani nekat. Tak lama kemudian, makanan kami sudah tersaji. Akupun langsung mencicipi ikan bakarnya. Ternyata... beneran enak. ^o^

Saat sedang makan, anak-anak kecil tadi menghampiri kami. Salah satu dari mereka rupanya adalah anaknya ibu yang punya warung makan ini. Dengan polosnya dia bertanya apakah aku pacarnya Dodi, tentu saja ku jawab tidak. >.<

“Kakak itu temannya kak Dodi” jelasku pada anak itu.

“Ohh... pernah difoto sama kak Dodi nggak kak? Kami pernah lho...” ucap si anak pemilik warung itu dengan bangga sambil menunjukkan sebuah foto padaku. Di foto tersebut tampak anak-anak tersebut berpose dengan latar pemandangan yang menurutku keren banget. Ada air terjun!

“Keren! Ada air terjun yah deket sini?” seruku.

“Kenapa? Pengen ke sana Ra?” tanya Dodi.

“Iya, kita ke sana yuk...”

“Aku mau aja, tapi jauh juga lho, setengah jam jalan kaki, nggak apa?”

“Ya nggak apa” jawabku yakin. Tempat keren seperti itu sayang banget kalau gak dimanfaatin untuk foto-foto, terus dimasukin instagram, hehehe. Dodi setuju membawaku ke sana. Namun anak-anak itu rupanya pengen ikut juga. Bagus deh, memang lebih baik ada warga setempat yang ikut meskipun masih bocah-bocah semua. Dari pada hanya berdua saja dengan Dodi. Aku tidak yakin Dodi bisa menuntunku ke sana dengan baik dan benar, hihihi. Anak-anak itu ada lima orang. Semuanya cowok. Mereka sendiri masih kecil-kecil banget. Jauh lebih muda dari Eko. Umur mereka palingan sekitar 5 sampai 7 tahun.

Setelah makan kamipun langsung berangkat. Mobil kami tinggal di depan warung makan tersebut. Kamipun berjalan menelusuri ladang-ladang dan kebun-kebun warga. Belum begitu jauh berjalan, tiba-tiba ada seorang bapak yang memanggil salah satu anak. Sepertinya itu adalah bapak si anak. Penampilannya khas orang desa, dengan kain sarung yang disandangkan ke tubuhnya. Bapak itu mengenalkan dirinya. Namanya pak Hasan. Dia bertanya kami mau pergi kemana. Ya dijelasin Dodi kalau kami mau pergi ke lokasi air terjun. Si anak tersebut ternyata malah minta bapaknya itu ikut nemenin. Ya sudah, malah tambah bagus sih kalau ada orang dewasa yang nemenin.

Di perjalanan, aku berkali-kali minta Dodi mengambil fotoku. Setiap ada pemandangan yang unik dan keren aku selalu minta foto. Anak-anak itupun juga tidak mau kalah minta difoto sama Dodi. Kadang aku juga foto bersama dengan mereka. Bapak itu walaupun gak suka difoto tapi juga sering ku paksa ikutan. Foto-foto bareng begini membuat kami jadi saling kenal dan tambah akrab. Kami juga sering cerita-cerita selama perjalanan. Nama bocah-bocah itu akhirnya satu persatu mulai bisa ku hafal.


Credit to : bramloser

No comments:

Post a Comment