Saturday, September 29, 2018

Dira (Inilah Yang Kumau) Part 8



“Bentar” Aku minta berhenti setelah kami berjalan cukup jauh. Perjalanannya berat juga karena harus naik turun bukit. Aku mulai merasa lelah. Karena aku baru sembuh, keringatku jadi banyak yang keluar. Biar gak kepanasan lagi, ku putuskan untuk membuka jilbabku, lalu ku lepas kemeja lengan panjangku sehingga menyisakan baju kaos putih sebagai atasannya. Aku titipkan kemeja dan kain jilbabku ke dalam tas Dodi. Baju kaos yang kukenakan ini agak ketat dan pendek banget. Soalnya memang untuk baju dalaman. Jadi perutku bisa saja sedikit kelihatan. Kalau membungkuk maka bagian pinggang belakang yang kelihatan.


“Kepanasan ya Ra?” Tanya Dodi.

“Iya, makanya ku buka”

“Tapi kamu cantik kalau keringatan gitu, ya kan Pak?” Apaan sih Dodi ini minta pendapat pak Hasan segala. Tentu saja diiyakan bapak itu. “Kalau kalian gimana? Menurut kalian kak Dira cantik nggak?” Dodi kini malah bertanya pada anak-anak itu. Dengan polosnya anak-anak itu juga jawab cantik. Dodi tau banget kalau aku memang suka dipuji. Ujung-ujungnya ya foto-foto lagi sebelum lanjutin perjalanan.

Tak lama kemudian kami sampai di tempat tujuan. Ternyata pemandangannya memang sangat keren. Jauh lebih keren aslinya daripada yang di foto. Lokasinya sedikit tersembunyi karena dikelilingi tebing. Di tengahnya ada air terjun. Tidak terlalu tinggi memang, tapi indah banget. Dari air terjun tersebut mengalir sungai. Airnya jernih dan arusnya tidak terlalu besar. Memancing hasrat untuk mandi-mandi >.<

Benar saja, bocah-bocah itu langsung bugil dan bermain. Dasar anak kecil. Aku sendiri langsung sibuk minta difotin sama Dodi. Dengan senang hati Dodipun menuruti. Awalnya foto-foto dengan latar belakang air terjun, kemudian lanjut dengan foto-foto lagi main air. Tempatku berada tak jauh dari anak-anak yang sedang mandi-mandi, jadi sekalian saja ku ajak anak-anak itu foto-foto bareng. Karena mereka masih kecil banget, jadi aku tidak risih dikelilingi mereka yang sedang telanjang bulat. Ku lihat tidak satupun di antara mereka yang penisnya sudah disunat.

Kami foto-foto sambil main air. Aku ikut masuk ke dalam air, tapi hanya berdiri di tepiannya saja yang kedalamannya hanya sebatas betisku. Ku biarkan celana panjangku jadi sedikit basah.

“Kak Dira, ayo ikut mandi” ajak salah satu dari mereka berteriak. Karena suara air terjun yang kencang jadi kamipun harus mengeraskan suara juga biar bisa ngobrol.

“Nggak ah, kakak di sini aja” Kejernihan airnya memang menggodaku untuk menceburkan diri sih, tapi tujuanku ke sini kan untuk foto-foto, bukan untuk mandi. “Sana, kalian saja yang mandi” ucapku iseng menciprati mereka. Mereka sepertinya menganggapnya sebagai ajakan perang air. Anak-anak itu langsung balas mencipratiku. Malah dengan brutal! “Kyaaaaah... aaahhhh... kalian”

“Hahaha” Mereka tertawa.

“Jangan disiraaaam,” teriakku meminta berhenti. Namun mereka tidak mendengarkan, malah justru mencipratiku dengan semakin hebat. Aku betul-betul kalah jumlah! Aku minta tolong ke Dodi untuk bantu bilangin ke mereka, tapi Dodinya malah ketawa-ketawa, asik memotretku yang sedang kesusasan dari kejauhan. Untungnya pak Hasan tanpa disuruh mau turun tangan menyuruh anak-anak itu berhenti. Barulah mereka mau berhenti.

“Curang ih kalian, mainnya keroyokan” ucapku pura-pura kesal yang hanya dibalas cekikikan oleh mereka. “Sebentar ya... kakak buka baju dulu biar gak basah” Ku pikir main air asik juga, memang sayang kalau dilewatkan, hihihi.

Aku kemudian keluar dari air, lalu mulai membuka celana levis panjangku. Untungnya celana tersebut masih belum basah-basah amat. Kuputuskan untuk melepaskan baju kaos ini juga. Sehingga kini hanya pakaian dalam yang menghiasi tubuhku. Nekat. Aku yang tadinya berpakaian lengkap dengan jilbab, kini sudah setengah telanjang atas inisiatifku sendiri. Buah dadaku tampak, bongkahan pantatku juga bebas untuk dilihatin. Bocah-bocah itu tampak biasa-biasa saja melihatku, wajar karena mereka belum punya nafsu. Namun berbeda dengan Dodi dan pak Hasan. Pak Hasan jadi salah tingkah dan membuang muka. Sedangkan Dodi walau sudah pernah melihatku kayak begini tetap tidak bisa menyembunyikan kemupengennya. Kayaknya aku nakal banget ya main buka buka aja, biarin deh. Cuma mereka saja yang ada di sini. Gak ada orang lain yang ngenalin aku.

Sebelum masuk ke dalam air, aku mengerlingkan mataku ke Dodi. Isyarat kalau dia ku persilahkan untuk terus mengambil foto-fotoku. Aku tahu dia sudah menantikan aku yang buka-bukaan seperti ini. Sekarang puas-puasin deh.

“Hayooo... tadi siapa yang nyiram kakak... awas ya kakak bales” Aku kemudian masuk lagi ke air, tapi tidak lagi sekedar berada di tepian, tapi ke tempat yang lebih dalam dimana anak-anak itu berada. Langsung saja ku ciprati air ke arah mereka. Perang air kembali terjadi, yang mana kali ini lebih hebat dari sebelumnya. Suara kecipak airnya begitu heboh. Aku basah kuyub.

Dodi ku lihat sangat menikmati mengambil gambar yang mungkin kurang lazim ini. Tentunya langka banget melihat seorang gadis kota sepertiku bermain air dengan bocah-bocah desa seperti mereka. Semuanya terlihat begitu kontras. Dari warna kulit, umur, jenis kelamin hingga jumlahnya. Aku sendirian sedangkan mereka berlima. Mana merekanya telanjang bulat pula. Aku kewalahan menghadapi serangan mereka yang keroyokan itu. Tapi tetap menyenangkan sih. Ku lirik pak Hasan. Entah apa yang ada dipikirannya saat ini, sedari tadi dia terus melihat ke arahku. Mungkin dia iri dengan anaknya yang bisa bebas bergurau denganku. ^o^

Setelah perang air mereda, aku lanjut mandi-mandi. Karena yang ku pakai ini bukan pakaian renang ataupun bikini, jadinya nyeplak banget. Apalagi dalamanku ini agak tipis plus warnanya terang, jadi ya nerawang. Puting buah dadaku samar-samar kelihatan. Begitupun dengan belahan vaginaku yang bisa terlihat dengan jelas. Makin dimanjakan deh mata-mata pria di sini. Dodi sesekali berpindah tempat karena posisiku terhalangi tubuh bocah-bocah ini. Lucunya pak Hasan juga demikan. Sedangkan anak-anak ini tampaknya memang belum ada nafsunya. Mereka hanya bilang aku cantik, tapi tak ku lihat ada yang penisnya berdiri. Masih polos semua, gak sama dengan Eko dan teman-temannya, haha. Syukur deh. Namun bagaimanapun, dikelilingi orang-orang yang bukan muhrimku dengan kondisi hampir telanjang gini tetap membuat dadaku berdebar juga. Bikin horni. Namun aku tetap berusaha santai meskipun aku sendirian cewek di sini.

Tiba-tiba aku merasakan air di sekitarku jadi hangat. Aaahhh... Pasti ada yang kencing! Siapa sih!? Jijiiiik. Ini kan sama aja dengan tubuhku dikencingi. Tapi... aku tidak bisa juga menyalahkan mereka. Hal seperti ini pasti sudah biasa mereka lakukan. Aku gak bisa marah. Jadi ku biarkan. Lagian hanya sesaat saja karena langsung hanyut oleh air sungai. Tapi gak lama kemudian aku kembali merasakannya. Ada yang pipis lagi. Ya ampun, mereka ini gak mikir kalau ada aku di dekat mereka. Main pipis sembarangan aja.

Tapi kok ujung-ujungnya aku jadi kepengen buang air kecil juga ya. Air yang dingin dan hawa yang sejuk membuat kantong kemihku juga mendesak untuk dikosongkan. Gak bisa ku tahan lagi. Tapi aku gak mau sembarangan, jadi ku minta izin dulu sama mereka.

“Kakak boleh pipis?” aku berkata cukup kencang, ku yakin Dodi dan pak Hasan bisa mendengarku.

“Pipis aja kak, kami tadi juga pipis” jawab mereka santai. Ternyata mereka memang menganggap hal ini biasa. Akunya saja yang tidak terbiasa. Selama ini aku kalau berenang di kolam atau di laut, gak pernah mau kalau lagi banyak orang. Takut hal yang seperti ini terjadi. Belum lagi bakteri yang tercampur karena saking banyaknya orang. Tapi sekarang malah aku sendiri yang melakukannya.

“Permisi ya... kakak... pipiss” aku mengejan dan mulai kencing. Baru kali ini aku kencing di dalam air gini. Rasanya aneh banget. Mana masih pakai celana dalam lagi. Terlebih aku kencingnya bukan diam-diam. Semua yang ada di sini tahu kalau aku lagi pipis. Aku tahu Dodi dan pak Hasan sedang melihatku dari kejauhan. Uh, malu banget, tapi biar deh. Yang penting lega.

Aku melirik ke arah Dodi dan pak Hasan setelah selesai kencing. Entah apa yang sedang mereka pikirikan sekarang. Akupun seperti tidak terjadi apa-apa kembali melanjutkan acara mandi-mandiku.

Setelah puas dan capek, aku kemudian keluar dari air. Cukup lama juga aku main airnya, bakal kambuh lagi deh ini flu. Anak-anak itu tampaknya juga sudah puas bermain. Aku kemudian menghampiri Dodi dan pak Hasan. Mereka kini bisa melihat tubuhku dengan lebih leluasa dari jarak sedekat ini. Kelihatan banget kalau mata mereka terus nyuri-nyuri pandang ke bagian dalamanku yang masih basah dan nerawang itu.

“Kita kembali sekarang?” Tanyaku pada Dodi. Aku bersikap biasa saja tanpa berusaha menutup-nutupi tubuhku.

“Ya terserah kamu. Kalau mau masih pengen di sini aku temenin” jawab Dodi. Karena sudah puas foto-foto dan main air, jadi kurasa sudah cukup. Akupun memutuskan untuk kembali memakai pakaian. Karena dalamanku basah, maka aku tidak ingin memakainya lagi. Lagi pula tadi sudah kena air kencingku. Tapi aku ganti pakaiannya nggak di depan dua orang itu juga dong, aku cari tempat yang agak tertutup. Dodi sih oke, tapi aku malu sama pak Hasan.

“Anto, ikut kakak bentar dong...” Pintaku pada salah satu anak tersebut.

“Kemana kak?”

“Temenin ganti baju... ” jawabku. Alasanku saja sebenarnya untuk godain dua pria itu. Tapi ternyata tanpa disuruh semua anak-anak itu malah ikut nemenin. Mereka juga membawa baju mereka untuk sama-sama ganti baju denganku. Ada-ada saja. Ya sudahlah.

Kami menuju ke balik batu besar. Baju kaosku tadi kugunakan untuk mengeringkan tubuhku. Aku memutuskan untuk memakai kemeja saja. Aku kemudian dengan cueknya melepas bh dan braku di depan mereka. Dugaanku yang mengira tidak satupun di antara mereka yang sudah punya nafsu ternyata salah. Yang paling tua di antara mereka akhirnya ngaceng juga ketika aku sudah telanjang bulat begini. Okee, itu normal. Ku pikir di usia itu memang sudah bisa nafsuan. Bocah itu sendiri tampaknya tidak sadar kalau penisnya berdiri, atau mungkin tidak peduli. Akupun bersikap biasa-biasa saja. Segera ku kenakan kemeja dan celana panjangku. Tentunya tanpa dalaman. Aku iseng meninggalkan dalamanku di sini. Kenang-kenangan untuk pengunjung selanjutnya, hihihi.

“Udah Ra? ” kata Dodi saat aku kembali.

“Kamunya juga udah belum foto-fotonya?” tanyaku balik. Dia hanya cengengesan garuk-garuk kepala. Aku tahu kalau dia masih belum puas. Foto-fotoku yang sudah diambilnya pastinya belum cukup vulgar seperti yang dia harapkan. Oke lah, ku pikir gak ada salahnya menyenangkan Dodi sedikit lagi.

“Hmm... Pak, sekitar sini ada tempat keren lagi nggak?” tanyaku kemudian pada pak Hasan.

“Wah, apa ya... Kalau yang seperti air terjun sih tidak ada, tapi tidak jauh dari sini ada desa yang sudah ditinggal penduduknya” jelas pak Hasan. Boleh tu kayaknya.

“Ke sana yuk Dod...” ajakku sambil senyum-senyum.

“Eh, iya... Boleh” jawab Dodi setuju.

“Tolong antarin kita ya Pak...” pintaku pada bapak itu. Dia setuju. Akhirnya kamipun meninggalkan lokasi ini dan menuju lokasi tujuan kami berikutnya. Anak-anak itu ternyata tidak mau ikut. Mereka ingin kembali ke desa untuk lanjut bermain. Jadi sekarang hanya tinggal kami bertiga. Setelah anak-anak itu pergi, suasana yang tadinya heboh langsung berubah jadi adem ayem.

Setelah berjalan sekitar sepuluh menit, kamipun sampai di lokasi. Tempat ini persis seperti di film-film horror lokal. Sepi, berantakan, dan rumah-rumah ditinggal begitu saja tak terurus. Aku sih gak bakal berani tinggal di sini meski hanya satu malam. Pak Hasan bilang, penduduk desa ini meninggalkan rumah-rumah mereka karena tanahnya yang rawan. Sering terjadi pergeseran tanah di sini. Hal itu memang tampak dari rumah-rumah yang hampir seluruhnya mengalami kerusakan, dari yang retak sampai ada yang sudah roboh.

“Dodi... fotoin aku...” pintaku. Dodi langsung menuruti. Dia mengambil fotoku beberapa kali dengan latar belakang desa mati ini. Meski seram tapi cukup keren jadi lokasi foto-foto.

Dalam hati aku berharap Dodi mengintruksikan aku untuk lebih berani lagi. Dodi tentu saja ingin, tapi mungkin baik aku dan Dodi masih merasa gak enak dengan pak Hasan. Karena Dodi masih takut-takut, kembali aku yang inisiatif. Sambil terus difoto aku membuka kancing kemejaku satu persatu hingga seluruh kancingnya terbuka. Ku lihat pak Hasan hanya diam menonton dengan wajah mupeng. Sadar dia sedang kuperhatikan, bapak itu jadi salah tingkah.

“Pak, maaf ya...” ucapku pada bapak itu.

“Eh, i-iya dik, gak apa...” balasnya.

“Boleh kan kita foto-foto di sini?”

“Boleh... Silahkan dik dilanjutkan. Ehm.. dik Dira suka ya foto-foto?”

Aku mengangguk.”Iya Pak, suka banget”

“Model ya dik?”

“Bukan kok Pak, cuma hobi aja” jawabku tersenyum. Kalau foto-foto biasa sih masih wajar dijadiin hobi, kalau foto-fotonya tak senonoh gini ya tidak pantas juga dijadikan hobi. Apalagi oleh gadis sepertiku.

“Ohhh... Kirain model, soalnya cantik banget” ujar pak Hasan.

“Hahaha, makasih pak”

Percakapan singkat itu cukup untuk menunjukkan kalau Pak Hasan sebenarnya malah menikmati, jadi gak perlu takut-takut lagi. Aku kembali meminta Dodi lanjut mengambil fotoku dengan kemeja yang sudah gak benar pemakaiannya itu. Dodi kini sudah berani memberikan arahan pose-pose yang lebih menantang. Seperti menyuruhku nungging menghadap kamera atau menyuruhku meremas dadaku sendiri dari balik kemeja. Apapun arahannya kuturuti. Akupun seperti sudah terlatih peka terhadap kilatan kamera yang membidikku. Walau nggak segan lagi, tapi tetap ada rasa malu juga sih ditonton sama pak Hasan.

Puas berfoto di luar, kami kemudian lanjut foto ke dalam salah satu rumah. Di sini Dodi meminta Pak Hasan ikutan. Dia ingin mengambil foto dengan konsep aku dan bapak itu adalah suami istri penghuni desa ini. Jadi nanti banyak adegan aku bersama dengan pak Hasan.

“Gimana Ra, kamu mau kan?”

“Hmm... boleh aja sih,” jawabku setuju. Aku sih oke-oke saja. “Tapi pak Hasannya mau nggak?” tanyaku melirik ke bapak itu.

“Eh itu... Saya sebenarnya hanya pengen lihat saja, tapi kalau disuruh foto bareng sama dik Dira yang cantik ya saya gak nolak juga, hehe” ucap pak Hasan sambil senyum-senyum. Hahaha, dia kok jadi genit ya sekarang. Mungkin karena kelakuanku juga sih yang membuat pak Hasan jadi keluar belangnya. Semoga dia tidak makin ngelunjak nanti.

“Oke deh, kalau gitu langsung kita mulai saja” ujar Dodi yang sepertinya sudah tidak sabar. Akupun juga sudah tidak sabar menanti arahan darinya. Dalam hati aku memang berharap sesi foto yang sedikit gila, tapi ya jangan sampai keblablasan juga.

Karena temanya pedesaan, maka Dodi pengen aku memakai pakaian yang lebih lusuh. Baju kemeja dan celana levis yang sedang ku kenakan ini katanya kurang cocok. Sempat bingung juga mencari pakaian untuk ku kenakan, padahal aku tahu kalau nanti ujung-ujungnya aku disuruh bugil. Biarlah, biarin deh Dodi bersenang-senang.

Pada akhirnya aku disuruh mengenakan baju kaos yang sedang dikenakan pak Hasan sekarang. Sedangkan pak Hasan disuruh hanya memakai kain sarung yang sedari tadi ditentengnya. Aku sebenarnya agak keberatan, soalnya baju kaos yang bergambar calon anggota dewan itu tampak kumal banget. Entah berupa juta kuman yang ada di sana, terutama di bagian ketiaknya yang tampak basah itu. >,<

Akupun sepertinya terlalu baik karena tetap mengiyakan keinginan Dodi. Aku setuju untuk memakainya. Pak Hasanpun membuka kaosnya dan menyerahkannya padaku. Aku kemudian masuk ke sebuah kamar untuk berganti pakaian. Baju kemeja yang nyaris lepas daritubuhku langsung ku buka, segera menggantinya dengan baju kaosnya pak Hasan. Tentu saja baju kaos itu kebesaran ditubuhku. Aku kemudian juga melepaskan celana panjangku. Jadi hanya baju kaos itu saja yang ku kenakan, tanpa bawahan dan tanpa dalaman. Memakai pakaian begini aku merasa lebih seperti pelacur kampungan daripada gadis desa. Tapi mana ada ya pelacur kampung yang cantik gini, hihihi.

Saat aku keluar, tampak pak Hasan sudah telanjang dada dan hanya mengenakan kain sarung. Pak Hasan yang memang kampungan jadi terlihat semakin kampungan. Aku pikir di balik kain sarung itu pak Hasan masih memakai celananya, tapi ternyata tidak. Ih, pasti Dodi yang nyuruh. Tampak olehku bagian depan kain sarung itu langsung menonjol begitu aku muncul. Semoga aku selamat.

“Nah, itu baru cocok...” ucap Dodi melihat penampilanku sekarang. Aku senyumin saja. Tanpa menunggu lama, Dodi langsung memberikan arahan. Untuk permulaan kami lebih banyak disuruh bergandengan tangan sambil saling menatap. Persis seperti foto-foto prewedding. Aku sih nggak mau foto pernikahanku nanti seperti ini.

Selanjutnya Dodi mulai menyuruh pak Hasan untuk memelukku. “Ayo pak Hasan, anggap saja kalau Dira itu istri bapak” ucap Dodi ngaco. Aku hanya melirik manyun-manyun saja ke Dodi karena omongan ngaconya itu.

“Gak apa dik Dira bapak peluk?” tanya pak Hasan masih ragu. Ingin memastikan kesediaanku dulu.

“Gak apa... seperti yang Dodi bilang, sekarang ini anggap aja Dira istrinya bapak” balasku sambil tersenyum manis. Meyakinkannya kalau dia kuperbolehkan untuk memeluk tubuhku. Pak Hasan bilang maaf dan permisi dulu sebelum memelukku. Aku maafin deh, hihi. Aku sebenarnya agak merasa risih, karena bagaimanapun aku baru kenal dengan pria ini. Pak Hasan juga terlihat kikuk, bukan karena harus berpose di depan kamera kurasa, tapi karena beradegan seperti ini denganku.

Dodi cukup lama mengambil gambar adegan kami berpelukan gini. Berkali-kali Dodi memberikan arahan macam-macam gaya berpelukan. Dari akunya yang dipeluk dari belakang, hingga saling berpelukan dari depan. Aku dapat merasakan batang penis pak Hasan yang menekan-nekan perut maupun pantatku. Dari balik kain sarung itu jelas sekali kelihatan penisnya yang ereksi. Makin lama tangan pak Hasan juga semakin berani. Pak Hasan memelukku sambil sesekali mencari kesempatan mengelus. Elusan yang walaupun sesekali itu cukup membuatku bergidik horni. Namun aku pura-pura cuek saja.

Sambil dipeluk, Dodi memintaku untuk mengemut jarinya pak Hasan. Akupun mengemutnya seperti lagi makan permen. Aku merasa seksi saat melakukannya. Pemandangan ini tentunya begitu erotis di mata mereka, terutama bagi pak Hasan yang tampak begitu menikmati jarinya diemut olehku. Jari-jarinya bahkan tidak lagi sekedar diam, tapi sudah mulai keluar masuk di mulutku. Jari pak Hasan lincah bermain-main dalam rongga mulutku, dari lidahku hingga langit-langit mulutku. Kadang ku balas dengan menggigit jarinya. Uh... entah kenapa aku jadi horni banget melakukan hal seperti ini. Aku menikmati bagaimana mulutku diobok-obok oleh jari pria ini. Sial. Aku benar-benar horni.

“Sekarang kamu telanjang dong Ra...” Puas mengambil gambar-gambar aku yang memakai baju, akhirnya Dodi ingin mengambil gambarku yang telanjang. Sepertinya Dodi sudah menunggu hal ini, demikian juga dengan pak Hasan. Akupun juga sudah menantikannya dari tadi. Aku sudah menunggu waktu untuk bisa pamer ketelanjanganku di hadapan kedua pria ini. Duh, kenapa sekarang aku segampang ini ya bertelanjang di depan pria-pria yang bukan muhrimku. Semoga keluargaku gak tahu kelakuanku ini.

Dodi bilang, walaupun aku difoto bugil, di kamera nanti bagian vagina dan putingku memang gak akan diperlihatkan. Kalaupun tampak, akan diburamkan. Katanya biar terkesan lebih erotis. Aku sih oke saja.

“Dik Dira beneran mau difoto telanjang?” tanya pak Hasan.

“Iya Pak,” jawabku dengan tersenyum. Aku ingin dia tahu kalau aku melakukannya karena memang aku mau. Tidak terpaksa sama sekali. Bukan semata karena Dodi yang nyuruh.

“Tapi dik Dira kalau sehari-hari pakai jilbab bukan? Apa tidak apa?” tanyanya lagi. Mendapat pertanyaan seperti itu lagi-lagi mengingatkanku kalau kelakuanku ini salah. Tapi lagi-lagi rasa bersalahku itu kembali kalah. Untuk saat ini, bertelanjang bulat di depan pria yang bukan muhrimku jauh lebih menarik untuk ku lakukan daripada ku anggap sebagai sebuah ketidakpantasan.

“Nggmmm... gak apa, sesekali telanjang gak apa” jawabku asal. Soalnya aku tidak menemukan jawaban yang pas untuk membenarkan perbuatanku ini.

“Hehehe, ya udah kalau gitu, bapak juga gak sabar pengen lihat. Pasti tambah cantik, pakai baju aja cantik, apalagi bugil” katanya sambil cengengesan. Aku hanya nyengir mendengar ucapannya ini. “Bercanda dik Dira… jangan marah ya…”

“Gak apa kok pak…” balasku dengan tersenyum. Aku tidak tersinggung sama sekali, justru malah senang mendengar pujiannya itu. Membuat aku juga jadi ingin segera menunjukkan ketelanjanganku biar lebih disanjung-sanjung lagi. Sanjungan dan pujian orang kepadaku benar-benar mengalahkan rasa maluku sebagai seorang gadis baik-baik, merubahku jadi seperti gadis murahan. “Bapak bisa melihat sepuasnya nanti” tambahku dengan kembali tersenyum manis.

Dodi sungguh mesum. Dia ternyata menyuruh pak Hasan untuk melepaskan baju yang ku kenakan. “Baju istri ya harus suami yang melepaskan,” begitu yang dia katakan. Dasar.

“Ya udah Pak, telanjangi Dira gih... biarkan istri bapak ini telanjang bulat di depan bapak” ucapku senyum-senyum pada pak Hasan dengan niat memanas-manasi Dodi, Dodinya cengengesan saja. Aku melirik ke Dodi, menunggu intruksi selanjutknya darinya. Dodi meminta Pak Hasan membuka bajuku sedikit demi sedikit sesuai arahannya karena dia ingin terus mengambil gambar. Awanya baju kaosku diangkat sedikit, lalu makin lama makin ditarik ke atas. Tentunya bagian vagina dan puting sudah kututupi dulu dengan tanganku. Aku memasang ekspresi imut, genit dan nakal, baik ke arah kamera maupun ke arah pak Hasan. Aku berusaha memberikan yang terbaik yang aku bisa agar sesi foto penelanjangan diriku ini terlihat sempurna. Binalnya aku.

Beberapa saat kemudian aku sudah bugil di hadapan kedua lelaki ini. Aurat-auratku yang seharusnya tidak boleh dilihat itu kini terumbar begitu saja di hadapan mereka. Mereka kembali melontarkan pujian padaku. Terutama pak Hasan yang tidak henti-hentinya memuji indahnya tubuh telanjangku. Mendengar ucapan mereka aku jadi semakin bersemangat, senang dan juga makin horni.

Setelah telanjang, Dodi ingin mengambil gambarku sendirian dulu dengan latar ruangan yang kotor, berantakan dan terbengkalai ini. Aku berpose sesuai arahannya. Dari berdiri, hingga merangkak dan berbaring di atas lantai rumah ini. Tubuhku jadi kotor banget karena debu dan pasir yang menempel. Senang banget kayaknya Dodi mengambil gambar aku yang bugil lagi kotor-kotor begini.

Sedari tadi aku terus berusaha menutupi vagina dan putingku. Sesuai yang Dodi katakan tadi, dia ingin vagina dan puting buah dadaku tidak terlihat oleh kamera. Kalaupun tidak kututupi, dia mengambil gambarku dari samping atau dari belakang. Tapi kini Dodi mulai nakal dengan menyuruh pak Hasan yang nutupin bagian-bagian terlarang tersebut dengan tangannya. Tentu saja aku menolak. Walaupun sedari tadi aku bertingkah layaknya gadis murahan, tapi aku juga punya batasan. Aku tidak ingin vagina dan buah dadaku disentuh orang lain. Cukup Eko saja yang pernah melakukannya. Akhirnya tangan pak Hasan hanya sekedar menutupi pandangan kamera saja, tidak menyentuh langsung.

“Kalau kayak gitu gak apa kan Ra? Hehehe” tanya Dodi.

“Iyaaaah” jawabku mengiyakan. Walaupun sebagai gantinya ya pak Hasan bisa dengan jelas melihat vagina dan puting buah dadaku.

Dengan kondisi seperti itu Dodi meneruskan kegiatan foto-fotonya. Kali ini pak Hasan kembali ikut dalam sesi foto-foto, yang mana tangannya terus menutupi vagina ataupun buah dadaku dari pandangan kamera. Baik aku berdiri, berlutut, hingga berbaring. Kadang pak Hasan menutupi buah dadaku saja dari belakang, sedangkan aku sendiri yang menutupi vaginaku. Namun Dodi lebih banyak mengarahkan pak Hasan untuk menutupi vaginaku dengan tangannya sedangkan aku fokus untuk nutupin puting buah dadaku. Aku deg-degkan, risih dan horni. Yang paling bikin aku deg-degkan adalah saat Dodi menyuruh pak Hasan nutupin vaginaku dengan kepalanya yang menghadap ke vaginaku, jadi kesannya kayak aku lagi dioral seks oleh pak Hasan sambil berdiri. Aku diminta untuk tetap menatap ke arah kamera sambil tersenyum. Dodi cabul banget. Dengan pose seperti itu tentunya pak Hasan semakin kenyang melihat vaginaku. Vaginaku yang sedang becek pasti terlihat jelas olehnya. Aku bahkan merasa ada cairanku yang menetes jatuh.

“Duh, mantap Ra... erotis banget” puji Dodi sambil memeriksa hasil fotonya. Pak Hasan masih tetap di depan vaginaku.

“Hihihihi, udah pak stop dulu...” ucapku tertawa kecil sambil mendorong pelan kepala pak Hasan yang semakin dekat ke vaginaku menjauh, padahal gak ada yang lucu.

Aku rasa sesi foto ini sudah cukup cabul, tapi ternyata Dodi masih punya ide cabul lagi untuk diabadikan. Dia ingin aku masuk ke sarungnya pak Hasan. Jadi satu kain sarung dipakai berdua gitu. Gila deh idenya kali ini. Entah dari mana dia dapat ide mesum seperti itu. Aku tertawa geli mendengar idenya tersebut.

“Kok malah tertawa sih Ra? Mau kan? hehehe”

“Iya iya aku mau...” jawabku akhirnya setelah berhenti tertawa. Aku tertarik dan penasaran gimana rasanya, tapi mungkin aku juga sudah kehilangan akal sehat sampai mau menuruti hal seperti ini. Ah, biar saja.

Akupun masuk ke dalam sarungnya pak Hasan. Aku di depan dan dia di belakangku. Di balik kain sarung itu pak Hasan tidak memakai apa-apa lagi. Kulit kami bersentuhan, cenderung lengket karena kami sama-sama keringatan. Aku dapat merasakan kulitnya yang kasar tersebut. Tapi yang bikin nafasku sering terputus-putus adalah penisnya yang langsung bersentuhan dengan pantatku. Amat sering menggesek belehan pantatku di bawah sana. Ah gilaaa. Aku horni. Dengan kondisi berdempetan seperti itu Dodi lanjut mengambil foto-foto kami berdua. Tak jarang ditambah dengan pose aku dicium dan dipeluk, kadang sambil ngemut jari juga. Akupun masih tetap berusaha menutupi puting buah dadaku. Dodi terus berkomentar betapa seksinya aku dan betapa erotisnya foto-foto ini. Sedangkan aku meski lagi horni berat masih sering tertawa sendiri karena menganggap hal ini lucu. Sumpah! Ini adalah hal paling gila dan paling cabul yang pernah aku lakukan.

“Dik Dira cantik banget...” ucap pak Hasan dengan nafas berat. Aku tidak tahu apa yang sedang dipikirkan pak Hasan. Aku hanya tersenyum membalas ucapannya barusan. Dia kelihatan sangat menikmati momen ini. Dia terus memeluk erat tubuhku seakan ingin menyatu denganku. Penisnya mengganjal banget di bawah sana, seperti berusaha untuk masuk ke vaginaku. Dia lupa dengan istrinya di rumah! Aku sendiri meski horni tapi aku belum kehilangan kesadaranku. Aku tidak mau terjadi hal yang tak ku inginkan. Aku menatap Dodi dengan harapan dia segera menyudahi sesi foto ini, tapi dia sepertinya masih asik mengabadikan momen yang tersaji. Akupun mencoba sedikit berontak agar mereka tahu kalau aku mulai tidak nyaman. Tapi mereka berdua masih tidak menghiraukan, atau mungkin menganggap berontakanku sebagai godaan. Aku dalam keadaan genting. Help me >.<

“Nggh...Dodiii....” ucapku kemudian memanggilnya, akhirnya barulah dia mengerti. Dodi segera menyudahi sesi foto-foto ini. Untungnya pak Hasan mau nurut. Aku senang Dodi benar-benar memegang janjinya untuk jagain aku.

Akhirnya itupun menjadi sesi foto terakhir. Pak Hasan mengatakan kalau kita memang harus kembali karena hari sudah semakin gelap. Dia bilang kalau desa mati ini berhantu saat malam datang. Tidak ada yang berani datang ke sini ketika hari gelap. Dodi bilang dia tidak percaya, akupun sebenarnya tidak, namun aku setuju dengan pak Hasan. Nasib vaginaku terancam kalau aku telanjang bulat di sini lebih lama lagi.

Aku yang masih telanjang bulat kemudian berjalan keluar untuk melihat sudah seberapa gelap keadaan di luar. Sepertinya masih sekitar dua jam lagi matahari tenggelam, namun suasana saat ini memang berbeda dengan saat kami datang. Lebih dingin, lebih sepi, dan lebih terkesan horror. Hanya suara-suara daun bambu yang tertiup angin yang terdengar.

“Gimana Ra? Ada nampak hantunya? Hehehe,” tanya Dodi sembarangan.

“Kenapa? Jangan bilang kalau kamu juga pengen ngajak hantu itu foto-foto denganku nanti,” balasku sambil tertawa. Dodipun ikut tertawa. Hanya pak Hasan yang berwajah serius! Pak Hasan tidak bohong ternyata! Aku pikir dia tadi bercanda. Aku tiba-tiba merinding. Entah ini cerita dongeng belaka atau tidak, tapi aku dan Dodi yang bukan orang sini seharusnya tidak menganggap remeh cerita warga sini. Aku rasa yang ditakuti pak Hasan itu bisa saja memang benar. Kalau dia mau dia pasti masih pengen lanjut foto-foto seperti ini denganku, kalau bisa dia ingin terus menempel denganku sampai malam, atau mungkin sampai dia berhasil menyetubuhiku. Ish, jangan sampai deh kalau itu.

Kamipun siap-siap kembali. Segera kupakai kemeja dan celana panjangku tadi, dan kukembalikan bajunya pak Hasan. Dodi sepertinya sudah mendapatkan apa yang dia mau. Pak Hasan juga sudah cukup bersenang-senang. Aku juga sudah puas merasakan nikmatnya bertelanjang di hadapan mereka. Harus ku katakan kalau apa yang terjadi hari ini sungguh gila. Aku sudah bertingkah amat murahan hari ini. Mau-maunya aku difoto tak senonoh seperti itu. Aku bersyukur masih bisa ngendaliin rasa horni. Hampir saja aku terbawa nafsu dan pasrah untuk disetubuhi tadi.

~~

~~

Setelah kembali ke desa, kami berpamitan dengan pak Hasan. Aku meminta dia agar jangan bilang siapa-siapa. Aku tidak ingin warga desa ini tahu kelakuanku. Mungkin saja suatu saat nanti aku akan kembali lagi ke sini untuk liburan.

Aku kemudian berganti pakaian di dalam mobil. Ku kenakan pakaian yang lebih pantas karena aku akan langsung menuju ke tempat orang tuaku. Aku kembali memakai dalaman dan tentunya kembali memakai jilbab. Kamipun melanjutkan perjalanan tepat ketika magrib. Capek sekali rasanya. Meski capek, di perjalanan aku menyempatkan untuk melihat foto-foto yang telah Dodi ambil. Aku suka hasil foto-fotonya. Tampak sangat berseni. Untuk foto-foto mesumnya juga terlihat sangat mesum. Jangan sampai orangtuaku melihat foto-fotoku yang seperti ini >.<

Tiga jam kemudian akhirnya kami sampai juga di rumah orangtuaku. Hari ini sangat melelahkan.

“Makasih yah Dod udah mau antarin aku...” ucapku pada Dodi saat mobil berhenti di depan pagar rumah orangtuaku.

“Iya, sama-sama... makasih juga ya Ra udah mau aku foto-foto” ucapnya.

“Haha... Iya, sama-sama” balasku tersenyum. “Kamu mau langsung pulang atau gimana?” tanyaku kemudian.

“Kayaknya aku mau langsung pulang saja, tenang saja, dua hari lagi aku jemput kok” jawab Dodi.

“Iyaaa, jangan lupa ya, hihihi”

“Hehehe, sip, gak bakal lupa” ucapnya mengacungkan jempol.

Kami diam selama beberapa saat.

“Sekali lagi makasih untuk hari ini,” ucapku kemudian mengecup pipinya. Dodi cuma mesem nggak bilang apa-apa. Aku jadi tertawa dalam hati melihat ekspresinya itu. “Bye...” Akupun kemudian turun dari mobil.

“Eh... iya, bye...”

Dodi kemudian pergi. Akupun lalu masuk ke dalam rumah.

Aku senang bertemu kedua orangtuaku lagi. Merekapun tampak senang aku datang, hanya saja mereka tidak tahu apa yang baru saja anak gadisnya ini lakukan sebelum sampai ke sini. Mereka tidak akan pernah membayangkannya. Kelakuanku hari ini begitu berbanding terbalik dengan yang selama ini mereka ajarkan. Memang ada perasaan bersalah, tapi aku menikmati kelakuanku yang salah tersebut. Aku senang bisa melakukan apa yang aku mau tanpa terikat aturan.

Aku akan di sini selama dua hari. Selama dua hari ini akupun harus bersikap layaknya gadis baik-baik. Sebenarnya aku memang gadis baik-baik kok, hanya kadang sering khilaf saja pamer aurat, hihihi. Aku tidak bisa keluyuran telanjang bulat di dalam rumah seperti biasanya. Palingan hanya di kamarku saja ketika aku selesai mandi, itupun hanya sebentar. Aku tidak bisa bebas di sini.

Meski baru satu hari di sini, aku sudah kangen pulang. Aku kangen sensasi keluyuran telanjang bulat di rumah. Aku kangen sensasi nunjukin ‘sedikit’ auratku pada laki-laki. Aku juga kangen dengan seseorang. Aku... kangen Eko. Ish, kok bisa bisa ya!? >.<


Bersambung....


Credit to : Bramloser

No comments:

Post a Comment