Saturday, September 29, 2018

Dira (Inilah Yang Kumau) Part 6



Dua hari kemudian hasil test mereka keluar. Kali ini mereka langsung datang ke rumahku setelah pulang sekolah, tidak datang malam hari seperti biasanya, jadi merekapun masih pakai seragam putih biru. Mereka sepertinya tidak sabar ingin menunjukkan hasil ujian mereka padaku. Tapi ternyata Eko tidak datang bersama mereka.

“Emang kemana dia?” tanyaku penasaran. Kalau tidak ada Eko rasanya kurang lengkap. Geng mereka jadi gak komplit jeleknya, hehe. Pakaianku saat ini adalah pakaian yang ku kenakan saat kuliah tadi. Kemeja kotak-kotak dan rok hitam panjang, tapi jilbabku sudah ku lepas. Rambutku ku ikat dengan ikat rambut. Kami saat ini berada di ruang nonton tv.


“Dia ke tempat orangtuanya dulu kak, nyusul katanya nanti” jawab Arman.

“Ohh gitu… Eh, jadi siapa yang paling tinggi nilainya? Dapat berapa?” tanyaku yang penasaran dengan nilai mereka, dan ternyata nilai tertinggi dari mereka yaitu…

“Tujuh puluh?” Aku mengernyitkan dahi.

“Iya kak tujuh, hehehe” jawab mereka girang. Jadi mereka buru-buru datang ke rumahku cuma ingin menunjukkan nilai tujuh puluh? Yang mendapatkan nilai tujuh puluh itu adalah Fikri, Eko cuma dapat enam puluh lima, Didik dan Arman dapat enam puluh, yang paling parah Riki dia cuma dapat empat puluh. Ini merekanya yang memang bego atau gimana sih?

“Masak nilai tujuh dibilang bagus sih?” ucapku kesal.

“Udah bagus kok kak itu… biasanya di antara kami paling tinggi cuma dapat lima puluh” kata Didik menjelaskan.

“Oh… gitu ya…”

“Iya kak… datang aja ke sekolah, terus tanyain guru kami” Mana mungkin aku lakukan. Malas banget.

“Terus Riki, kamunya kok cuma dapat empat puluh sih? Kan udah belajar” tanyaku lagi, kali ini pada Riki.

”Hahaha, dia biasanya malah dapat nol kak karena gak isi sama sekali, paling tinggi dapat dua puluh, hahaha” ledek Arman. Didik dan Fikri juga ikutan meledek.

“Sialan kalian! Awas nanti”

“Ya ampun Riki, pantas aja kamu tinggal terusss, hihihi” Akupun juga ikut-ikutan meledeknya.

“Ah, kakak….”

“Maaf deh… hihihi”

“Jadi gimana kak?” Tanya mereka menunggu pengakuan dariku. Mereka tampaknya ngotot banget. Tapi sepertinya mereka memang jujur. Nilai mereka memang gak bagus-bagus banget, tapi kalau memang ada peningkatan bagus deh, berarti aku berhasil ngajarnya.

“Hmm… gimana ya…”

“Gimana kak!?” tanya mereka lagi gak sabaran. Duh, bocah-bocah ini.

“Karena kakak baik….. oke deh, nilai kalian kakak anggap bagus” ucapku akhirnya. Suasana langsung menjadi riuh.

“Yes!!... Yuhuuuu!” Mereka bersorak gembira. Aku tertawa geli melihat Riki yang sok-sok-an melakukan sujud syukur, padahal nilainya paling rendah.

“Heboh banget sih gitu aja…” Aku pura-pura santai, padahal dengan kemenangan mereka ini mereka bebas melihatku dengan pakaian seksi. Aku harusnya tidak sesantai itu membiarkan aurat-auratku akan terumbar lagi. Apa kata mamaku nanti.

“Berarti sesuai perjanjian kan kak? Hehe” tanya Riki. Harusnya waktu bikin perjanjian itu aku matok nilai 8 atau 9 kali ya, tapi ya udah deh.

“Iyaaah… kita tunggu Eko dulu ya…” jawabku sambil melirik ke arah pintu, berharap Eko segera datang.

“Yaaah…. Sekarang dong kak…”

“Iya, sekarang dong kak…” rengek mereka,

“Gak, kalian harus komplit semua” balasku.

“Tapi kan Eko kan udah sering lihat”

“Sok tahu ih, siapa yang bilang? Eko yang bilang?”

“Iya kak… Eko yang bilang, iya ya kak?”

“Kadang-kadang aja kok… Emang dia bilang apa lagi ke kalian?” tanyaku penasaran. Apa Eko udah ngomong semuanya ke mereka? Kalau iya, duh… bisa tambah heboh suasana.

“Eko bilang kalau kak Dira sering pakai baju seksi kalau di rumah, dia sering lihat”

“Itu aja?”

“Iya itu aja, emang ada yang lain ya kak? Eko udah ngapain aja emangnya kak? hehe” tanya mereka kemudian yang jadi penasaran. Mereka ini bisa banget mancing-mancing. Tentu saja tidak akan ku jawab yang sebenarnya.

“Ih… nggak ngapa-ngapain kok… dia tuh cuma kerja bersihin halaman aja, kalian jangan mikir macam-macam deh, masih kecil jugak”

“Ohh… ya deh kak sorry, maaf yah kakak cantik”

“Mulai deh gombal”

“Tapi kak Dira emang cantik kok, seksi lagi, ya kan bro?” ujar Riki yang langsung diiyakan oleh teman-temannya.

“Iya kak, ganti baju dong kak, biar nampak lagi seksinya…” ucap Arman ikut-ikutan menggombal.

“Iya-iyaaah… kakak ganti deh…. Cerewet ih” Aku langsung menuju ke kamarku. Mereka itu pandai banget kalau hal yang beginian, tapi kalau tentang pelajaran bebal banget. Sambil berjalan ku buka ikat rambutku dan ku lempar sembarangan.

“Yang seksi ya kak…” teriak mereka sebelum aku menutup pintu kamar. Aku senyumin aja.

Aku buka lemari bajuku. Apa yang harus ku kenakan? Apa ya yang cukup seksi untuk pertunjukan pembuka? Sambil berpikir dadaku berdebar terus. Kelakuan yang tidak pantas itu akan kulakukan lagi. Kali ini aku akan dengan sengaja tampil buka-bukaan di hadapan pria yang bukan muhrimku, empat orang sekaligus, masih dibawah umur dan dekil-dekil semua. Membiarkan mereka semua menikmati aurat-auratku, sepuas-puasnya mata mereka memandang. Aaah, memikirkannya membuat yang ‘di bawah’ terasa gatal.

Meski baru pembuka, tapi aku ingin tampil semenggoda mungkin di hadapan mereka. Aku ingin mereka langsung berdecak kagum melihatku. Aku akhirnya memutuskan untuk menggunakan pakaian yang sedang ku kenakan sekarang, tentunya dengan sedikit perubahan.

Aku lepas rok panjang yang ku pakai tadi, jadi sekarang bawahannya hanya pakai celana dalam yang warnanya merah. Atasannya aku masih memakai kemeja kotak-kotak tadi, tapi branya aku copot. Aku juga membuka hampir semua kancingnya, hanya menyisakan satu kancing saja di tengah-tengah. Sehingga sebagian besar buah dadaku jadi bebas untuk dinikmati oleh mata mereka, belahannya nampak jelas. Pusarku juga kelihatan. Karena kemeja ini tidak dalam, maka celana dalamkupun kelihatan.

Sepertinya cukup, akupun keluar kamar.

Mereka melongo melihatku begitu aku kembali ke tengah-tengah mereka. Bisa-bisanya mereka yang tadi heboh sekarang jadi diam gini. Mungkin karena saking mupengnya, hihihi.

“Gimana?” tanyaku mencoba menyadarkan mereka dari imajinasi liar mereka.

“Wew… Bagus kak” komentar Arman.

“I-iya kak… keren” ucap Fikri singkat.

“Mantab kak… sempurna, aku suka lihatnya” kata Didik.

“Seksi abis kak… nafsuin, sumpah kak kontolku ngaceng…. Pengen ngocok nih… Tuh susunya bening amat, mulus… Iya kan bro?” Seperti biasa, Riki yang ngomongnya paling berani. Gak heran lagi akunya. Ucapan cabulnya itu hanya kubalas senyuman. Ku gerakkan telunjukku kiri kanan sebagai isyarat gak boleh berbuat yang aneh-aneh. Enak aja ngomong pengen ngocok.

“Kalian bertiga kok gitu aja sih komentarnya? Kalau ada yang pengen dikomentari lagi bilang aja…” godaku pada Arman, Didik dan Fikri. Aku ingin mereka berkata yang lebih berani lagi seperti Riki. Meski ucapan Riki itu tidak pantas, tapi mendengarnya membuatku horniih.

“Udah diwakili sama Riki kak, hehe” ucap Fikri.

“Iya kak betul, pokoknya kak Dira kelihatan seksi deh, terus itu… nafsuin… kayak yang dibilang Riki” sambung Arman, Didik mengiyakan. Hihihi, mereka ini, sampai kehabisan kata-kata gitu. Ya udah deh kalau gitu.

“Kakak kalau di rumah bajunya kayak gini ya?” tanya Fikri. Aku mengangguk.

“Iya… kalau di rumah emang gini aja kalau lagi gak ada orang. Kalau ada orang ya kakak pakai bajunya biasa-biasa aja, yang sopan,” jelasku, “pakai jilbab… yang tertutup deh pokoknya” sambungku lagi ketika melihat jilbab merah yang ku pakai ke kampus tadi masih tergeletak di atas sofa, belum ku bereskan.

“Berarti kita spesial dong? Hehe”

“Nggmm… Anggap aja gitu”

“Senangnya, beruntung deh bisa kenal kakak, hehe” ucap Riki dan yang lain. Mereka itu seharusnya beruntung kenal dengan Eko. Kalau tidak ada Eko mereka gak mungkin bisa kenal dengan aku. Tapi, ngomong-ngomong Eko lama amat datangnya. Semoga dia tidak cemburu teman-temannya ngegodain aku terus. ^.^

Setelah itu cukup lama kami saling diam. Mereka tidak ngomong apapun, aku juga hanya berdiri diam membiarkan mereka menikmati pemandangan yang tersaji. Tampak olehku kalau mereka berkali-kali membetulkan celana.

“Udah puas liatnya? Ngayalin apa?” ucapku kemudian.

“Eh, nggak kok, lagi menikmati aja kak”

“Kak…” panggil Riki, pasti dia mau request yang aneh-aneh.

“Apa?”

“Itu kancingnya dibuka aja, tanggung tinggal satu” pinta Riki. Tuh kan benar.

“Benar kak, biar kelihatan lebih menggairahkan”

“Iya… Biar lebih cantik” ucap yang lain.

“Dibuka ya? Hmmm… ya udah” Tanpa banyak perlawanan aku turuti permintaan mereka. Akupun mulai membuka kancing yang masih tersisa itu. Tapi kok susah?

“Mau aku bantuin kak?” Riki menawarkan diri.

Aku mengangguk. “Cuma buka kancing ya, jangan macam-macam”

“Sip kak…” Riki mendekat dan meraih kancing bajuku. Dia berdiri tepat di depanku. Dia agak menarik kancing itu sehingga kemejaku ikut-ikutan tertarik. Sengaja banget. Diapun jadi bisa mengintip ke dalam sana, mungkin putingku tampak olehnya. Ya sudah, aku lagi berbaik hati untuk membiarkan.

“Duh, emang susah kak, nyangkut” ucapnya kerepotan.

“Bisa nggak? Kalau nggak bisa kakak minta tolong sama yang lain aja nih”

“Bisa kok…” Plup!! Aaaah… Dia ini. Dia malah membuat kancingnya putus. Apanya yang bisa!? Salah satu kemeja kesukaanku jadi rusak deh.

“Ish, kamu ini gimana sih…”

“Maaf kak, yang penting udah terbuka, hehe” Dia cengengesan tidak merasa bersalah.

“Sembarangan deh”

Ya mau gimana lagi. Untungnya cuma putus aja jahitan kancingnya. Aku bisa memperbaikinya sendiri nanti. Yang harus ku pikirkan sekarang adalah nasibku yang nyaris ditelanjangi ini. Bocah-bocah itu pastinya semakin mupeng melihat kondisiku saat ini. Karena semua kancing kemejaku sudah dibuka, terang saja bagian depan tubuhku kini semakin terekspos. Untungnya masih bisa menutupi puting buah dadaku, tapi kalau kena angin pasti tersingkap.

“Udah kan?” ujarku pada Riki yang masih asik menatapku. Dia masih tidak beranjak dari posisinya. Jadi akulah yang mundur. Namun dia dan teman-temannya malah maju mengikutiku. Hingga akupun mentok ke dinding. Kini aku terpojok di kelilingi bocah-bocah ini.

Dadaku berdebar kencang. Tentu saja, jika mereka mau mereka bisa saja memperkosaku saat ini juga. Meskipun begitu aku juga merasa sangat seksi dengan keadaanku sekarang, yang berpakaian asal-asalan nyaris telanjang dikelilingi cowok-cowok yang bukan muhrimku. Para bocah SMP yang lagi penasaran-penasarannya dengan tubuh cewek. Tapi aku masih percaya mereka tidak akan berbuat yang macam-macam.

“Baru kali ini lihat cewek secantik ini, kak Dira sempurna banget” ucap Riki, yang dilanjut dengan sanjungan dan pujian dari teman-temannya. Mereka tidak henti-hentinya memujiku, membuatku jadi ingin lebih memamerkan tubuh.

“Kalau bugil pasti makin sempurna, hehe” sambung Riki lagi.

“Ye…. Kan perjanjiannya kakak cuma pakai pakaian seksi, gak bugil,” balasku.

“Bentar aja kok kak… ntar kalau udah telanjang sekalian ganti baju lain aja. Kan katanya kita juga boleh milihin baju buat kakak. Iya kan teman-teman? Pada pengen lihat kak Dira bugil kan?” ujar Riki memanas-manasi yang lain. Tentu saja mereka semua mengiyakan. Gak mungkin ada yang menolak. Bocah-bocah tanggung nan mesum kayak mereka mana mungkin melewatkan kesempatan melihat gadis kuliahan sepertiku telanjang bulat.

“Ntar kita belajar lebih rajin deh…” rayu mereka. Ih, janji manis.

“Ampun deh kalian ini, oke deh, sekali ini saja ya…” Aku akhirnya mengiyakan. Cepat atau lambat ternyata aku dibugilin juga. Tapi kenapa aku mau sih…

“Hehehe, ayo kak dibuka” pinta mereka tak sabaran. Ingin agar aku segera melepas pakaian yang tersisa. Tapi aku rasa… aku ingin membuat suasana jadi sedikit lebih asik.

“Fikri, siniii…” panggilku pada anak itu. Diapun mendekat. “Karena kamu yang nilainya paling tinggi, jadi kamu yang nelanjangi kakak” ucapku senyum-senyum. Berusaha memasang senyuman semanis mungkin. Dia jadi langsung salah tingkah mendengarnya, hihihi.

“Kok gak aku aja sih kak?” tanya si Riki sok protes.

“Dasar kamu ini, kan kamu nilainya paling rendah. Kamu bisa ikutan gabung aja udah syukur” aku memeletkan lidah padanya. Tapi kalau dia gak ikutan kayaknya jadi kurang heboh. Karena dialah yang mancing-mancing aku jadi mau ditelanjangi begini.

“Ayo dong buruan kakaknya ditelanjangi… ntar keburu diserobot temanmu…” godaku menarik lengan baju Fikri sambil melirik ke arah Riki, sengaja mengompori Riki, hihi.

“I-iya kak…” jawab Fikri grogi. Mereka semua ternyata sejenis dengan Eko, kalau udah ditantangi kayak gini malah grogi, padahal tadi ngebet banget mesumnya.

Fikri mulai melepaskan kemejaku. Lengan kiriku sudah lolos dari kemeja, kemudian lanjut lengan kananku. Selagi dia melakukannya, aku terus berusaha menutupi buah dadaku dengan tanganku. Kadang aku terlambat bergerak sehingga putingku jadi sempat terlihat oleh mereka. Akhirnya akupun telanjang dada. Kali ini aku tutupi dadaku sekedarnya. Tidak lagi terlalu berusaha menutupi putingku dari pandangan mereka. Mereka sudah terlanjur berkali-kali melihatnya dari tadi.

Setelah yang atas, ku suruh Fikri lanjut untuk menarik celana dalamku. Aku masukkan tanganku ke dalam celana dalam sebelum dia menariknya. Dia terlihat semakin grogi. Tangannya gemetaran ketika melakukannya. Saat celana dalam itu sudah di mata kaki, aku bantu mengangkat kakiku agar celana dalam itu terlepas. Akupun kini sudah telanjang bulat. Duh, makin banyak cowok yang sudah melihat aurat-auratku yang tanpa pakaian sama sekali seperti ini. Aku merasa semakin nakal saja. Tidak ku sangka aku melakukannya sejauh ini. Tapi bisa pemer aurat itu memang menyenangkan. Perasaanku betul-betul campur aduk antara grogi, malu, dan horni.

Setelah aku bugil total begini, tentunya pujian dan sanjungan mereka semakin menjadi-jadi. Mereka tampak semakin mupeng saja. Makin lama mereka semakin mendekat, membuat suasana yang sudah panas jadi terasa semakin panas saja. Aku jadi keringatan dibuatnya.

“Mundur dong… panas nih…” pintaku. Gak nyaman banget dipojokin ke tembok dengan tubuh telanjang gini. Aku kini lebih fokus untuk menutupi vaginaku, tak terlalu ambil pusing lagi dengan dadaku yang sudah jadi bulan-bulanan mata mereka.

“Bagus banget badan kakak” ujar mereka yang tidak menuruti kata-kataku sama sekali. Duh, mereka ini. Ya sudah lah, aku nikmatin saja mandi keringat ini.

“Iya, gak ada cacatnya… putih mulus, super bening… jadi pengen pegang, hehe”

“Enak aja pegang-pegang, gak boleh… Kakak udah bugil lho ini, masih kurang emang?” balasku cepat. Cukup sampai aksi telanjang saja. Aku tidak berniat, dan tidak akan mau melakukan lebih dari ini. Yang telah mereka dapatkan sudah lebih dari cukup.

“Bentar aja kak…”

“Gak mauuuu… Kalau kalian macam-macam kakak beneran marah lho nanti” ucapku tegas. Merekapun akhirnya berhenti. Bagus deh, jangan sampai karena saking nafsunya mereka jadi main paksa.

“Iya deh kak, tapi memeknya jangan ditutupin lagi dong…” pinta Riki mesum. Dia ini memang gak ketolongan mesumnya. Akupun tanpa pikir panjang mau-maunya saja menuruti.

“Tapi mundur dulu ya dikit…” aku menggeser tanganku dari posisinya. Ah, memalukan. Sekarang bagian-bagian terlarang tubuhku sudah terekspos semua untuk dinikmati mata mereka. Tadi buah dada, sekarang vaginaku.

“Gilaaaa.. mantab banget… Ngaceeeeng gueee…. Anjrit” komentar Riki. Tampak dia mengelus-elus bagian depan celananya yang menonjol. Dia sampai membungkuk di depanku untuk melihat vaginaku lebih jelas. Mereka gak ada yang mundur, semuanya malah makin mendekat, mereka juga mengelus bagian depan celana mereka masing-masing. Suasana yang begitu cabul. Makin aku buka-bukaan aku malah semakin kepanasan. Makin keringatan akunya. Seharusnya aku beranjak dari sana. Tapi aku yang sedang keringatan malah menyukai dipojoki seperti ini. Aku betul-betul merasa seksih.

Saat sedang panas-panasnya, aku terkejut saat mendengar ada orang di depan rumah. Aku pikir itu Eko, tapi ternyata itu kurir yang nganterin paket! Duh! Aku kayaknya harus mengurangi belanja online agar kurir-kurir itu gak terlalu sering ke sini. >.<

“Ada orang tuh kak…”

“Iya… minggir dulu ya…” Aku menerobos mereka. Akhirnya aku bisa bebas juga dari kepungan bocah-bocah dekil ini. Aku ambil jilbabku yang tergeletak di atas sofa, aku berencana menggunakannya untuk mengelap keringatku. Mereka tampak keheranan aku berjalan ke arah pintu tidak memakai apa-apa. Seperti biasa, kalau lagi telanjang aku biasanya akan memakai jaket menyambut pengantar paket itu.

“Kalian jangan berisik ya… kakak gak mau ketahuan sedang bersama kalian” ujarku di tengah jalan. Mereka mengangguk. “Tapi kalau kakak sampai diapa-apain kalian cepat tolongin,” candaku. Mereka angguk-angguk lagi. Akupun lanjut jalan ke depan.

Saat ku lihat dari jendela ternyata itu mas-mas yang nganterin tempo hari juga. Waktu itu dia melihat aku dengan pakaian yang sopan dan berjilbab. Kali ini akan sebaliknya. Aku berencana menyambutnya dengan… telanjang bulat. Tapi gak telanjang-telanjang banget juga. Jilbab yang tadinya ingin kugunakan untuk mengelap keringat di tubuhku, akhirnya malah aku gunakan untuk menutupi tubuhku seadanya. Sekedar untuk menutupi buah dada dan vaginaku. Yaaah… tapi mau gimanapun ini tetap telanjang sih namanya. Aku berani melakukannya karena mas-mas ini kelihatannya tidak berbahaya. Aku yakin dia tidak akan berani macam-macam. Dia dulu juga pernah berjanji untuk tidak bilang siapa-siapa kalau sering lihat aku pakai baju ala kadarnya. Dia sendiri yang akan rugi kalau macam-macam.

Ku buka pintu sedikit, lalu ku suruh dia masuk.

“M-mbak Dira… mbak ng-nggak pakai baju?” ucapnya terbata-bata.

“Cuma ini…” balasku sedikit mengebas ujung kain jilbab ini. Meyakinkannya kalau memang inilah satu-satunya yang kupakai untuk menutupi tubuhku. Apa kata orangtuaku kalau melihat jilbab yang seharusnya aku pakai di kepala untuk menutup aurat dengan sempurna, kini malah ku gunakan untuk memberikan kesan erotis sewaktu pamer aurat. Kontradiksi banget.

“Mbak seksi amat…” ucapnya kemudian.

“Makasih…” balasku sambil tersenyum. Wajah dan tubuhku masih penuh keringat karena gak jadi ku lap. Tentunya membuat pemandangan yang tersaji makin terlihat menggairahkan baginya.

“Tanda tangan di sini mbak…”

“Oke…”

Sambil melakukan proses serah terima. Aku terus berusaha menutupi buah dada dan vaginaku, tapi aku tidak terlalu peduli kalau kecolongan atau tidak. Mungkin saja dia berhasil melihat bagian-bagian itu, anggap saja hari ini hari keberuntungannya. Bisa saja aku menyingkirkan jilbab ini, tapi aku lebih suka tampil begini. Lebih menyenangkan membiarkannya terus penasaran.

“Sering-sering belanja online ya mbak, hehe” ucapnya. Aku senyumin aja. Aku malah niatnya mau ngurangin belanja.

Setelah semua beres, aku langsung mempersilahkan dia keluar. Aku tidak ingin dia berlama-lama di sini. Untungnya dia tidak banyak cincong. Sebelum dia pergi, aku kembali ngasih kode agar jangan bilang-bilang siapa-siapa.

Kejadian yang barusan memang singkat, tapi pengalaman yang ku rasakan sungguh luar biasa. Aku betul-betul nekat!

Setelah menutup pintu, aku kembali ke dalam. Jilbab itu ku letakkan kembali ke atas sofa setelah mengelap keringatku. Aku melewati bocah-bocah itu yang masih melongo karena aksiku barusan. Apa yang baru ku perbuat tentunya membuat fantasi nakal mereka terhadapku semakin melambung tinggi.

Ini tentunya masih belum berakhir.

“Yuk ke kamar…” ajakku.

“Ngapain kak?” tanya Arman.

“Mau diajak ngentot tuh” ucap Riki sembarangan. Gila tuh anak. Capek ah ladenin omongannya.

“Bantu pilihin bajuuuu…” ujarku.

“Eh, i-iya…” merekapun begerak mengikutiku. Mereka bisa melihat seluruh bagian belakangku saat mengekoriku dari belakang. Mata mereka pastinya terus tertuju ke selangkanganku. Beberapa saat kemudian aku sudah berada di dalam kamar bersama gerombolan bocah ini.

“Kalian sukanya kakak pakai baju apa? Pilih sana di lemari” ujarku.

“Nanti aja kak pakai bajunya, kita duduk-duduk dulu yuk di tempat tidur…” pinta Riki cengengesan mesum.

“Ih, ogaah”

“Hehehe, maksudnya kakak dulu dulu, biar kami pilihin bajunya” kata Riki lagi. Dia sampai berani menarik tanganku, membawa tubuh telanjangku menuju ranjang. Hmm… okelah. Akupun kemudian duduk di tepi tempat tidur.

“Apa? Sana bantuin temanmu” perintahku karena si Riki malah diam menatapku. Diapun kemudian ikutan diskusi dengan teman-temannya di depan lemari.

“Apa aja boleh kak?” tanya Riki.

“Iya boleh….”

“Yang nampak memek dan susu juga gak apa kan kak?”

“Iyaaaa” Aku iyakan saja, mereka sudah ngelihat semua kan. Ya sudah. Mereka bisa bebas berfantasi sepenuhnya.

Mereka mengacak-acak seluruh koleksi pakaianku hingga ke dalaman-dalamannya. Pakaianku memang tidak ada yang seksi. Rata-rata merupakan pakaian yang tertutup. Bagaimana aku menggunakannyalah yang membuatnya seksi.

Setelah sekian lama mereka masih bingung apa yang mereka ingin untuk ku kenakan. Sambil menunggu aku lalu merebahkan badan dan tiduran di tempat tidur. Tidak bermaksud mengundang mereka, tapi mereka jadi berhenti berdiskusi dan malah putar badan, asik melihatku yang lagi tidur-tiduran.

“Kenapa? Udah ketemu?” tanyaku.

“Belum kak…”

“Aku ikut tidur sama kakak boleh nggak kak? hehe”

“Nggak!” Aku langsung kembali duduk. Kayaknya posisiku yang berbaring terlalu mengundang buat mereka.

Tiba-tiba ada yang membuka pintu kamarku! Eko… Aku kirain siapa. Ternyata dia datang juga.

“Waaaahh…. Kak Dira udah telanjang aja…” ucap Eko.

“Iya bro.. sorry ya kita duluan, hehe” Riki seperti bangga gitu sudah membuatku telanjang bulat. Mungkin dia pikir dialah yang pertama. Padahal Eko sudah berkali-kali melihat aku telanjang bulat.

“Kak, emang mereka lagi ngapain? Terus kok kak Dira telanjang gitu di tempat tidur?” tanya Eko bingung. Akupun menjelaskan apa yang sedang terjadi.

“Oh… gitu ya…”

“Iya… sekarang kamu bantu teman-temanmu itu dong pilihin kakak baju, lama amat mereka” ujarku. Eko mengiyakan. Merekapun kembali lanjut memilih.

“Ko, kamu punya hape kan? Nanti kita ambil foto-foto kak Dira yuk…” ucap Riki. Eko melirik ke arahku seperti meminta persetujuanku. Yah… ku pikir tidak apa-apa. Aku mengangguk setuju.

“Kalau selfie-selfie bareng kakak boleh juga nggak kak?” tanya Fikri.

“Boleh aja... Hmm… gini deh, masing-masing kalian pilih satu deh untuk kakak pakai, nanti kakak ganti-gantian foto bareng kalian pakai baju pilihan kalian itu…” tawarku. Tentu saja mereka setuju. Siapa juga yang gak kepengen.

“Tapi kita urut dari yang nilainya paling tinggi… jadi Fikri, kamu dulu, buruan pilih gih…” kataku kemudian. Fikripun tersenyum bangga karena menjadi yang pertama. Dia mulai memilih. Dia ingin aku mengenakan baju kaos dengan motif garis-garis horizontal. Baju kaos itu biasanya aku gunakan sebagai baju pelapis sewaktu aku pergi kuliah. Di baliknya aku tidak memakai apa-apa lagi, untuk bawahannya hanya celana dalam berwarna putih. Aku sebenarnya cukup sering berpakaian seperti ini kalau di rumah. Eko tahu betul itu.

Setelah aku memakainya, kami kemudian foto-foto berdua. Baik selfie maupun diambil oleh Eko. Eko kembali berlagak layaknya fotografer seperti Dodi. Namun hanya pose-pose biasa yang tidak erotis sama sekali. Paling banter adalah foto ketika Fikri memelukku dari belakang.

“Yaaah, kalian ini… masa gitu-gitu doang foto-fotonya… Sayang lho, kapan lagi bisa foto dengan cewek secantik kak Dira… kan kak Diranya udah mau bugil-bugilan, hehe” ucap Riki. Dia ini memang hobinya ngomporin ya? Pantas aja kulitnya hitam seperti kebakar kompor, hihihi.

“Kan baru mulai, berisik deh” balasku pura-pura kesal. Dalam hati aku merasa tertantang. Aku jadi ingin balik memanas-manasi Riki dengan aksi foto-fotoku.

“Ko… lanjut fotoin kita lagi ya…” suruhku pada Eko.

“Iya kak”

Aku lalu ajak Fikri naik ke tempat tidur. Sebenarnya aku ingin Fikri melepaskan baju seragamnya. Tapi aku pikir hasil fotonya akan menjadi lebih erotis kalau dia pakai seragam. Jadi di kamera hasilnya akan kontras banget bagaimana perpaduan antara gadis kuliahan berpakaian minim dengan bocah smp dekil berseragam lusuh. Gila deh, kok aku malah suka yang kayak-kayak gini ya.

Foto-fotoku dan Fikri kali ini selalu adegan pelukan. Baik aku dipeluk dari belakang maupun dari depan. Baik duduk maupun berlutut. Tubuh kami terus menempel. Kadang wajah kami juga. Tapi tetap gak ada acara pegang-pegang buah dada atau vagina. Dia hanya ku bolehkan memeluk perut atau pinggangku. Tangannya kadang masuk ke dalam bajuku juga. Kadang aku merasa ada sedikit elusan, tapi ku pikir tidak masalah.

Setelah sudah banyak foto yang diambil, aku lalu membuka baju kaosku. Mengajak Fikri foto berdua beberapa kali, sebelum akhirnya menyudahi sesi foto-fotoku dengannya. Aku sengaja sekalian menelanjangi diri sebagai penutup, biar gak lama-lama amat persiapan untuk giliran berikutnya.

“Ko, sekarang giliran kamu kan? Yuk” ajakku pada Eko. Tapi dia bilang nanti saja. Dia mempersilahkan teman-temannya terlebih dahulu. Katanya ingin jadi yang ngambilin gambar saja. Haha, iya sih, kalau bagi Eko foto-foto begini merupakan kemunduran. Kami kan sudah pernah foto telanjang berdua bahkan foto foto pura-pura lagi ML. Jadi karena Eko tidak mau, maka giliran selanjutnya adalah Arman. Nilai Arman dan Didik sebenarnya sama, tapi Didik bersedia mengalah.

“Duh, kapan nih giliran gue…” ucap Riki ngenes.

“Terakhir” jawabku sambil memeletkan lidah padanya. Tuh kan mupeng… kepengen kan… rasain deh. Hobi banget sih panas-panasin orang.

Pilihan Arman jatuh pada kemeja putih longgar lengan panjang. Kemeja itu transparant dan tipis banget, soalnya itu memang kemeja untuk tidur sih.

“Itu aja? Dalamannya? Atau ada yang lain?” tanyaku pada Arman.

“Apa ya…” Dia kemudian memeriksa laci lemari. “Pakai ini aja deh, hehe” ucapnya menunjukkan beberapa lembar plester luka.

“Kakak pakai itu?” tanyaku bingung. Itu kan untuk nutupin luka.

“Iya kak…” Dia ternyata memintaku untuk nutupin putting dan vaginaku pakai plester itu. Ada-ada aja dia ini. Aku turuti saja permintaannya. Ku tutupi puting dan vaginaku dengan plester tersebut, kemudian ku kenakan kemeja putih tadi.

“Wah kak Dira seksi banget…” ucap Arman dan lainnya. Kulihat ke cermin, ternyata emang beneran seksi. Boleh juga idenya untuk nutupin puting dan vagina pakai plester luka kayak gini. Kesannya jadi erotis banget. Ditambah dengan kemeja putih ini. Sempurna banget deh untuk manjain mata bocah-bocah itu.

Eko kemudian mulai mengambil foto-fotoku. Sama kayak Fikri tadi, awalnya foto biasa-biasa saja, terus lanjut adegan peluk-pelukan saling nempel. Aku bahkan akhirnya melepaskan kemeja ini dan berfoto dengan hanya memakai plester yang menutupi puting dan vaginaku. Arman jadi leluasa banget mengelus-elus tubuhku sambil memeluk. Nempel-nempel terus bikin aku gerah juga, aku jadi kembali keringatan.

“Mau dihidupin AC nya kak?” tawar Eko.

“Ngh… gak usah… biar aja… asik kok kayak gini… Iya kan? Kalian suka kan kakak keringatan gini… nikmatin deh…” ujarku kelampau horni. Nafasku putus-putus. Pamer aurat, foto-foto, dan pelukan sambil dielus-elus gini sukses banget bikin aku horni berat. Semoga aku masih bisa mengontrol diriku >.<

“Hufh… panas kak…” ucap Arman setelah aku memutuskan selesai.

“Iyaaah.. panas… kakak sampai keringatan gini…” aku sapu keringatku dan memercikkannya ke wajah Arman. Dia malah kesenangan dan nagih. Ku ulangi lagi memercikkan keringatku ke wajah Arman berkali-kali. Ekopun tidak menyia-nyiakan kesempatan untuk mengabadikan momen itu. Aku lalu juga iseng memercikkan keringatku ke arah lensa kamera hapenya. Semua yang ada di situ jadi terpana melihat kelakuanku. Gadis cantik nyaris telanjang yang bermain-main dengan keringatnya sendiri kayaknya bikin semua yang melihat jadi mupeng abis, hihihi.

“Udah kan Man?” tanyaku pada Arman.

“Iya kak, makasih…”

“Dik… sekarang giliran kamu… Kamu mau kakak pakai apa?” tanyaku pada Didik. Yang ditanyain Didik tapi yang nyahut malah Riki.

“Aku dulu dong kak…” Aku memutar bola mata mendengar ucapannya. Udah dibilangin kalau dia itu terakhir, masih juga gak ngerti.

Didik kemudian memilih pakaian pilihannya. Sepertinya dia ingin membuatku makin kepanasan dengan memilih celana overall, alias celana kodok yang berbahan jeans itu. Celananya panjang, bagian atasnya bisa nutupin sampai ke dada. Aku lumayan sering sih ke kampus memakai ini, tapi tentunya dengan baju dalaman lengan panjang dan tentunya memakai jilbab. Tidak buka-bukaan seperti yang ku pakai sekarang, yang hanya memakainya gini doang tanpa ada apa-apa lagi di baliknya. Untungnya aku masih memakai plester untuk nutupin puting dan vaginaku, kalau tidak pasti geli banget rasanya ketika puting dan vaginaku bergesekan dengan bahan jeans ini.

Buah dadaku sih tertutupi, tapi gak semuanya juga. Bagian tepinya terbuka. Punggungku juga kelihatan semua hingga ke pinggul. Akupun foto-foto dengan Didik dengan memakai itu. Seperti sebelumnya, awalnya foto-foto biasa kemudian peluk-pelukan. Awalnya kedua talinya masih nyangkut di pundakku, lalu gak sengaja turun sebelah sehingga sebelah dadaku jadi kelihatan. Aku mengembalikannya ke posisinya, tapi kemudian turun lagi, aku perbaiki lagi. Karena jatuh terus aku jadi capek, jadi kubiarkan saja. Bahkan lama-lama kedua talinya yang turun sehingga buah dadaku kelihatan semuanya. Penutup dadanya terjuntai begitu saja.

Sekarang aku betul-betul sudah mandi keringat. Tampak dari cermiin betapa kusutnya penampilanku. Wajahku memerah karena kepanasan dan rambutku lepek banget karena keringat. Bagi bocah-bocah itu tentunya ini pemandangan yang semakin seksi.

Capek juga ternyata. Tapi masih ada giliran si Riki. Duh, aku sudah kayak piala bergilir saja.

“Tuh sekarang giliran yang nilainya paling jelek…” candaku.

“Ah, kakak ini disebut-sebut terus”

“Kamu sih… ribut terus dari tadi… Jadi kamu mau kakak pakai apa?” tanyaku.

“Pakai apa ya… pakai ini aja deh kak, hehehe” jawabnya sambil melepaskan kancing baju seragamnya. Maksudnya aku disuruh pakai seragam lusuhnya itu !? iih…

Riki kemudian menyerahkan seragamnya itu padaku. Dari tadi yang ku pakai bersih dan bagus-bagus, tapi kali ini aku akan memakai yang beginian.

“Pakai ini?” tanyaku memastikan. Aku angkat seragamnya itu dengan ujung telunjuk dan jempol dengan jijik. Gak cuma lusuh dan kotor, tapi juga bau. Udah berapa lama sih ini gak dicuci!?

“Iya kak pakai itu, mau kan kak?”

“Ish… Ya udah deh…” Kalau pakai sebentar gak apa kayaknya. Aku sepertinya udah terlalu horni sehingga nurutin semua pilihan pakaian mereka. Ku pakai seragam tersebut. Seragamnya itu agak sempit di tubuhku. Apalagi ketika ku pasang kancingnya, buah dadaku terasa tertekan. Jadi hanya satu kancing yang paling bawah saja yang ku pasang. Puting dan vaginaku masih tertutupi dengan plester yang tadi.

Gimanaaaa gitu kelihatannya saat ku lihat penampilanku di cermin. Menggelikan sekali. Tapi bagi mereka mungkin ini pemandangan yang begitu erotis. Aku yakin tidak ada yang mau melakukan in selain aku. Mana ada di luar sana gadis sepertiku yang mau memakai baju seragam yang dekil, lusuh dan bau punya bocah ini.

“Cantik kok kak…” kata Riki. Aku nyengir saja.

“Yuk” ajakku dengan isyarat jari menyuruh bocah itu mendekat.

“Ko.. fotoin yang bagus ya… dibikin se-hot mungkin” ucap Riki ke Eko. Eko mengacungkan jempol.

Foto-foto dengan Riki kemudian dimulai. Karena aku memakai seragamnya, maka diapun telanjang dada. Dia paling cerewet di antara teman-temannya, banyak banget permintaanya. Seperti pengen mengelus kepalaku, pengen pegangan tangan denganku, pengen tiduran di pangkuanku, sampai memelukku sambil berbaring di tempat tidur.

Gerepeannya juga paling heboh dibandingkan yang lain. Berkali-kali dia malah asik mengelus-elus ketika memelukku. Dari pundak, punggung, pinggang, sampai ke pahaku habis kena gerepean tangannya. Aku masih membiarkan. Kalau tangannya terlalu dekat ke vagina atau terlalu lama berada di pantatku barulah tangannya ku singkirkan. Dia juga sering pura-pura gak sengaja menyenggol buah dadaku. Risih, tapi aku malah membiarkan. Aku betul-betul terbawa suasana.

“Jangan goyang-goyang…” ujarku saat dia menggesek-gesekkan bagian depan celananya ke pantatku. Terasa banget ada sesuatu yang tegang menyentuh pantatku. Sebenarnya aku sudah merasakannya sejak Fikri, Arman dan Didik memelukku, tapi karena kali ini Riki memelukku sambil menggesekkan pinggulnya, tonjolan itu jadi lebih terasa, mengganjal banget. Bocah ini betul-betul memanfaatkan kesempatan.

“Lepas kak?” tanya Riki menawarkan melepaskan seragam itu.

“Iya… lepas aja, panas….”

Sama seperti sebelumnya, seragam lusuh itu pada akhirnya juga lepas dari tubuhku. Riki membantuku melepaskan seragam itu dari tubuhku. Tentunya sambil cari-cari kesempatan ngelus-ngelus. Setelah lepas, dia letakkan seragam itu di atas tempat tidur, tapi kemudian ku ambil dan ku campakkan jauh-jauh. Itu sih cocoknya jadi kain lap.

Baru saja seragam itu lepas dari tubuhku, Riki kembali memelukku dari belakang dan menggoyang-goyangkan pinggulnya maju mundur dengan cepat. Nih anak betul-betul horni. Aku kembali berfoto dengan hanya memakai plester di puting dan vaginaku. Aku semakin keringatan. Semakin nafsu dan juga semakin horni.

“Ki…. Nghhh… Udaaaah….” Aku akhirnya meminta berhenti sebelum aku kelewat horni dan memohon disetubuhi oleh mereka, khususnya si Riki ini. Aku yakin si Riki ini sudah pernah ML dengan cewek. Bisa kacau kalau aku sampai di-ML-in sama dia juga.

Tentunya si Riki gak bisa hanya dengan satu kali dibilangin. Setelah beberapa kali dibilang barulah dia mau berhenti. Dia sempat mencium pipiku sebelum melepaskan pelukannya. “Iuuhh…”

Setelah dengan Riki selesai, Eko kemudian mengambil fotoku bersama dengan semua teman-temannya itu sebagai penutup. Tentunya aku masih telanjang bulat berada di tengah-tengah mereka. Gila deeeh. Eko kemudian punya ide agar aku menutupi tubuhku dengan selimut. Biar nanti kalau difoto terkesan kayak aku abis disetubuhi rame-rame katanya. Eko nakal juga ya…

Setelah itu barulah acara foto-foto ini selesai. Tak terasa hari sudah senja. Aaahh… Betul-betul gila apa yang barusan terjadi. Tak pernah kubayangkan aku mau-maunya melakukan ini untuk mereka. Kok aku bisa jadi senakal dan semurah ini sih? Bukan satu cowok saja yang menikmati auratku, tapi beberapa cowok sekaligus!

Aku keasikan pamer aurat sampai khilaf. Tapi kayaknya hari ini khilafku betul-betul keterlaluan. Untung saja malam ini vaginaku selamat. Paling banter hanya membiarkan mereka mengelus dan memeluk tubuh telanjangku. Tapi ku rasa itupun sudah sangat lebih dari cukup. Aku bersyukur malam ini aku masih virgin, kalau nurutin nafsu bisa aja aku udah nggak prewi lagi. Gila banget kalau sampai diperawani rame-rame oleh gerombolan bocah SMP. >.<

“Udah selesai kan kaliannya? Sana keluar” ujarku pada mereka. Aku berkata sambil berusaha melepaskan plester yang nutupin puting dan vaginaku. Susah juga melepaskannya. Kulitku jadi ikutan tertarik saat berusaha melepaskan plester tersebut. Perih juga. Mereka malah kesenangan melihatku kesusahan.

“Mau aku bantuin kak?” Riki menawarkan diri untuk membantu melepaskan plester itu, tapi aku tolak. Gak ada yang boleh pegang-pegang area terlarang tersebut. Sebenarnya Eko boleh sih, tapi gak mungkin dia lakukan di depan teman-temannya sekarang.

“Keringatnya mau bantu dilap?” tawar Riki lagi belum menyerah.

“Nggggaaak mauuuuuu” jawabku gemas. Masak menawarkan ngelap keringatku pakai seragam kotornya tadi. Mana mau akunya.

“Sana kalian coli kamar mandi…” suruhku kemudian. “Kakak tahu kalian udah nafsu banget, tapi udah gak ada lagi, acaranya udah selesai!” lanjutku tegas. Semua yang ada di dalam kamar ini pasti lagi horni-horninya saat ini. Aku sih masih bisa kendaliin diri, tapi aku kan gak tahu mereka.

Dengan berat hati akhirnya mereka mau juga beranjak. Kalau aku tegas sih mereka memang gampang nurutnya. Tapi tidak jarang ketegasan itu malah kalah dengan rasa penasaranku, sampai akhirnya terjadilah kejadian seperti hari ini.

“Eh, jangan di kamar mandi sini… sana kamar mandi bawah. Kakak juga mau langsung mandi” ucapku pada mereka yang hampir masuk ke kamar mandiku.

“Iya kak…” jawab mereka serentak. Setelah mereka keluar aku tutup dan ku kunci pintu kamarku, jaga-jaga… kalau kalau mereka berubah pikiran karena dapat bisikin setan agar memperkosaku, hihihi. Aku mendengar samar-samar kalau mereka ingin melihat hasil foto Eko tadi, sepertinya mau menggunakannya untuk bahan coli. ^o^

Setelah keringatku kering aku lalu mandi. Enak banget rasanya diguyur air dingin setelah berpanas-panasan dari tadi. Akhirnya aku bisa membersihkan diri dari lengketnya keringat, terutama kuman-kuman dari elusan tangan mereka, termasuk kuman dari baju seragam Riki itu.

Setelah aku mandi, aku kemudian memakai baju yang terbilang sopan. Piyama tidur lengan panjang dengan celananya yang juga panjang. Setelah itu akupun keluar kamar. Tampak bocah-bocah itu lagi ngumpul. Sepertinya mereka sudah selesai onaninya, hihi.

“Wah, kak Diranya udah segar…” ucap mereka begitu melihatku.

“Iya dong…”

“Makasih ya kak hari ini…”

“Sama-sama…. Tapi kalian jangan bilang siapa-siapa ya…” Aku tentunya tidak mau ada bocah-bocah seperti mereka lagi yang datang ke rumahku.

“Oke kak tenang aja” jawab mereka. “Tapi kapan-kapan boleh lagi kan kak?” tanya Riki kemudian.

“Nggak!!” tolakku. Aku sebenarnya belum tahu sih apa aku akan membolehkan mereka kayak tadi lagi. Mungkin saja nanti. Jika benar terjadi lagi, mungkin akan lebih heboh. Lalu mungkin saja aku akan… Ah… aku gak mau membayangkannya. >.<

“Sekarang kalian pulang gih… udah malam” ujarku. Aku tidak ingin menunggu nafsu mereka bangkit lagi, kemudian ngerayu aku agar mereka nginap di sini lagi. Sudah cukup aku kerepotan hari ini.

“Bentar lagi dong kak… kita masih pengen nemanin kakak”

“Gak perlu, gaya kalian…” balasku.

“Oh ya, Eko belum kan ya pilihin baju buat kakak,” ujar Didik kemudian mencoba mencari alasan.

“Iya tuh, lo nya cuma foto-foto aja dari tadi,” kata Riki ke Eko.

“Kapan-kapan aja, gak apa, hehe” jawab Eko santai. Dia sih emang udah pernah dapat yang lebih banyak dariku, jadi emang gak apa-apa. Malam ini kayaknya Eko sudah cukup bersenang-senang dengan jadi fotografer, hehe.

“Ya deh… yang udah punya pacar, jadi ada pelampiasan,” ucap Fikri.

“Pelampiasan? Maksudnya?” tanyaku bingung.

“Eko kan udah punya pacar kak, si Susi, anak kelas sebelah, baru juga kemaren dia ngentot dengan Susi, hahaha” jawab Riki.

“Haaah?” Aku lirik Eko. Dia tampak salah tingkah. Garuk-garuk kepala sambil menundukkan kepala ke bawah. “Benar Ko?” tanyaku pada Eko. Dia hanya diam sambil terus menunduk. Sepertinya memang benar. Sejak kapan? Dia tidak pernah bilang selama ini. Aku… Kok aku jadi kesal…

“Kalian ini masih kecil kok udah gitu-gituan sih!!? Udah sana kalian pulang!” ujarku dengan nada tinggi. Aku marah, tapi gak tahu kenapa bisa semarah ini. Entah kenapa aku jadi kesal mengetahui Eko sudah punya pacar bahkan sampai melakukan ‘itu’.

Riki, Arman, Didik dan Fikri terdiam. Mereka saling pandang, seakan bertanya-tanya apa yang sedang terjadi. Aku mendengar mereka bisik-bisik, “kenapa kak Dira jadi marah-marah sih?”

“Sanaaa pulang! Kamu juga Ko… pulang sana,” kataku lagi. Mereka akhirnya bergerak meski tampak terus bertanya-tanya kenapa denganku. Aku tutup pintu depan dan ku kunci begitu mereka keluar.

Aku tidak tahu kenapa… Aku juga tidak ingin suasana hatiku jadi begini. Hanya saja aku… Aku merasa begitu kecewa. Tapi kenapa? Seandainya aku tidak mengenal Eko sebelumnya, mungkin aku tidak begitu peduli. Tapi… aku sudah terlanjur kenal dengannya. Aku sudah menganggapnya adek, bukan... aku rasa ini agak beda, aku... mungkinkah aku cemburu!?

Gila saja aku cemburu dengan Eko. Tapi… aku terus kepikiran. Ahhh… udah ah, aku mau tidur dulu.

Aku segera ke kamar. Langsung tiduran di atas tempat tidurku. Tiba-tiba ada pesan masuk… aku cek… Shinta? Nih anak ngapain tiba-tiba sms setelah lama gak ada kabarnya. Aku yang sedang bad mood jadi tambah kesal.

Aku buka pesan tersebut, dan kubaca…


Bersambung…

Credit to : bramloser

No comments:

Post a Comment